Investasi asing di sektor pelayaran di Indonesia dinilai INSA (Indonesia National Shipowner’s Association) tidak diperlukan, karena sampai saat ini, para pengusaha shipping domestik masih mampu untuk menyiapkan armada kapal laut.
Bahkan, sekarang ini armada pelayaran nasional lebih dari 25.000 unit kapal, atau naik 323 persen dibandingkan awal dimulainya asas cabotage pada 2005 lalu yang hanya berjumlah 6.000 kapal.
“Dengan kekuatan itu, armada pelayaran nasional juga telah menjadi pemain utama di angkutan dalam negeri, dan telah mampu melayani pengiriman kargo di seluruh Indonesia,” kata Ketua Umum DPP INSA Carmelita Hartoto, didampingi Wakil Ketua Umum, Witono Suprapto kepada para wartawan, di Kantor INSA, Tanah Abang III, Kamis sore.
Carmelita memang sengaja mengundang para kuli tinta tersebut, untuk sharing informasi mengenai berbagai masalah yang masih dihadapi oleh industri pelayaran. Sore itu, mereka menyinggung pula soal coast guard yang menjadi amanah dalam UU Pelayaran. “Kalau untuk coast guard diberikan saja kepada KPLP. INSA sudah bertemu presiden (Presiden Joko Widodo) salah satunya menyinggung soal itu, dan kita berharap presiden mengeluarkan PERPU untuk itu,” katanya.
Namun, yang tak kalah penting saat bercerita kepada para wartawan adalah tidak diberikannya porsi yang cukup untuk sektor kemaritiman, mengingat Presiden Jokowi lebih fokus pada peningkatan dan pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM). “Kedepan, lebih banyak fokus pada SDM, kemaritiman bahkan tak disebut-sebut, ini yang mesti terus kita perjuangkan,” ungkapnya lagi.
Mestinya, dengan luasnya sektor kemaritiman dan banyak persoalan disitu, tidak cukup ditangani hanya oleh setingkat Dirjen. “Harusnya maritim itu diurus oleh kementerian sendiri, seperti dulu ada kementerian maritim,” ujar Meme (panggilannya).
Dia berharap, pemerintah mendatang bisa menuntaskan persoalan-persoalan kemaritiman dalam periode 2019 – 2024.
Carmelita menyatakan apresiasinya terhadap upaya pemerintah membenahi sektor maritim dalam 5 tahun terakhir ini, guna mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Tetapi, tantangan dan persoalan yang tak kunjung berhenti menyebabkan industri pelayaran nasional sulit bersaing dikancah dunia. Apalagi, sampai sekarang masih ada beberapa kebijakan yang belum berpihak pada usaha pelayaran nasional. Misalnya masih tingginya bunga perbankan, lalu soal perpajakan yang juga cukup memberatkan usaha shipping line ini.
“Kami harap pemerintahan 5 tahun mendatang tetap memberikan fokus pada pembenahan sektor maritim, khususnya di sektor pelayaran niaga nasional,” kata Carmelita.
Tantangan
Sementara itu, Capt. Witono menambahkan bahwa sejumlah tantangan masih dihadapi pelayaran nasional, contohnya di sektor pembiayaan pengadaan kapal yang masih dibebani bunga bank tinggi dan tenor pendek.
Dia menilai skema pembiayaan di angkutan laut nasional dapat disamakan dengan skema pembiayaan infrastruktur seperti jalan tol dan pelabuhan.
Untuk itu, diperlukan dukungan pemerintah dengan membuat aturan baru atau merevisi PM Menteri Keuangan No. 100/PMK 010/2009 tentang Pembiayaan Infrastruktur, dengan memasukkan kapal sebagai infrastruktur, sehingga perbankan nasional akan memberikan dukungan pendanaan dengan bunga bank rendah dan tenor panjang.
Terkait dengan kebijakan fiskal, industri pelayaran nasional membutuhkan kebijakan yang bersifat equal treatment dengan negara lain. Hal ini untuk mendorong tingkat daya saing pelayaran nasional.
Witono juga kembali menyinggung bagaimana pentingnya badan tunggal penjaga laut dan pantai atau sea and coast guard. “Tumpang tindihnya penegakan hukum di laut saat ini sering membuat pelayaran terganggu, bahkan tak sedikit mengakibatkan ketidakpastian pengiriman barang melalui laut, kerugiaan waktu operasional kapal dan berbiaya tinggi, akibat penangkapan kapal yang terkadang tak jelas alasannya,” ungkapnya Witono.
Selain itu, diperlukan implementasi dari kebijakan Non Convension Vessel Standard (NCVS). Implementasi NCVS dibutuhkan mengingat banyak kapal-kapal kecil non convensi yang beroperasi di Indonesia.
NCVS merupakan aturan yang dikeluarkan masing-masing negara dalam mengatur keselamatan pelayaran bendera kapal. Aturan ini ditujukan bagi kapal-kapal berbobot di bawah 500 GT yang melakukan kegiatan pelayaran domestik dan internasional. Termasuk juga kapal dengan kriteria yang digerakkan tenaga mekanis, kapal kayu, kapal penangkap ikan, dan kapal pesiar.
“Dengan implementasi NCVS, maka negara hadir dalam mengontrol keselamatan kapal-kapal di bawah 500 GT, sehingga dapat mengurangi kecelakaan transportasi laut,” katanya. (***)