Bank Dunia, dalam “Indonesia Economic Quarterly” yang dirilis bulan Maret 2016 ini, memaparkan kondisi ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Pada bagian tentang logistik, (Part B.1.a Logistics Reforms), memaparkan tentang kondisi logistik Indonesia, dimana disebutkan bahwa sektor logistik Indonesia masih jauh dari efisien.
Apa faktor yang menyebabkan sektor logistik Indonesia (menurut Bank Dunia) belum efisien? Berikut pemaparannya.
Survei yang dilakukan Bank Dunia mengungkapkan bahwa sekitar 2/3 produsen di Indonesia ternyata lebih memilih menggunakan jasa transportasi dari internal mereka sendiri, ketimbang menggunakan jasa logistik pihak luar.
Fakta ini memperlihatkan masih rendahnya kepercayaan produsen terhadap kemampuan penyedia jasa logistik dalam negeri. Hal ini diperkuat dengan temuan terjadinya kasus kehilangan barang atau keterlambatan pada 19 dari 100 order pengiriman di Indonesia. Tergolong tinggi di dunia. Ongkos logistik di Indonesia juga masih tinggi, mencapai 20 persen dari total nilai penjualan produk. Masih tergolong tinggi jika dibanding Thailand (15 persen) atau Malaysia (13 persen).
Terdapat dua kebijakan sektor logistik yang menurut Bank Dunia menjadi penyebab inefsiensi logistik di Indonesia, yaitu kebijakan modal dasar minimal bagi perusahaan jasa pengurusan transportasi (JPT), dan Ketidakjelasan Peran Otoritas Pelabuhan dan Operator Pelabuhan.
Hambatan pada Pelaku Jasa Logistik
Pada bulan April 2015, Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mensyaratkan modal dasar untuk Perusahaan freight forwarder dalam negeri minimal sebesar 25 Miliar Rupiah (USD 1.8 Juta), sementara untuk asing sebesar USD 10 Juta. Sebagai perbandingan, Singapura hanya mewajibkan USD 79 ribu dan Thailand sebesar USD 65 ribu.
Bank Dunia mengungkapkan bahwa tingginya persyaratan modal dasar tersebut secara signifikan telah membatasi jumlah perusahaan serta mengurangi kemampuan perusahaan dalam rekrutmen dan pelatihan SDM, pembelian peralatan dan meningkatkan pelayanan. Dalam jangka menengah dan panjang, mengurangi daya saing perusahaan logistik Indonesia.
[/et_pb_text][/et_pb_column][/et_pb_row][et_pb_row admin_label=”Row”][et_pb_column type=”4_4″][et_pb_text admin_label=”Text” background_layout=”light” text_orientation=”left” use_border_color=”off” border_color=”#ffffff” border_style=”solid”]
Minim Investasi Infrastruktur Pelabuhan
Faktor lain dibalik inefisiensi logistik di Indonesia adalah belum jelasnya pemisahan peran antara Otoritas Pelabuhan (OP) dan Operator Pelabuhan (TO), yang menyebabkan rendahnya investasi pada infrastruktur pelabuhan.
Sesuai UU Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, OP yang seharusnya bertanggung jawab melakukan pembangunan infrastruktur pelabuhan. Namun, pada prakteknya, investasi pada infrastruktur pelabuhan dilakukan oleh operator pelabuhan, dalam hal ini Pelindo I – IV, dengan segala keterbatasannya.
Kondisi ini menyebabkan minimnya infrastruktur pada pelabuhan-pelabuhan di Indonesia, terutama di kawasan timur. Kebanyakan pelabuhan di Indonesia berada dalam kondisi yang tidak layak dan rendah produktivitasnya. Kapasitas pelabuhan yang terbatas tersebut akan menghambat peningkatan arus barang.
Ketidakjelasan implementasi regulasi di atas, menyebabkan negara gagal menjadi regulator yang efektif di pelabuhan. Pelindo I – IV yang mengoperasikan pelabuhan bahkan kadang secara efektif bertindak sebagai regulator di hadapan pengguna jasa kepelabuhanan.
Pemerintah perlu memperjelas peran otoritas pelabuhan dan operator pelabuhan dalam pengembangan dan pengelolaan pelabuhan, agar tercapai kepastian investasi yang memadai pada infrastruktur pelabuhan.
Analisis lebih jauh tentang logistik Indonesia, dapat dibaca pada bagian C.1, berjudul “Improving the freight logistics system in Indonesia”.
[/et_pb_text][/et_pb_column][/et_pb_row][/et_pb_section]