Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan terus melakukan kajian terhadap rencana pemberlakuan PM 53 tahun 2018 mengenai kelayakan petikemas dan berat kotor petikemas (VGM), khususnya kelayakan petikemas yang akan diberlakukan mulai Januari 2019 mendatang.
Dirjen Perhubungan Laut Agus Purnomo kepada Ocean Week menyatakan pihaknya sedang melakukan kajian terhadap rencana implementasi PM 53 tersebut. “Kita masih kaji,” kata Agus singkat menjawab Ocean Week, Rabu pagi (24/10) melalui WhatsApp-nya.
Namun, beberapa waktu lalu, Dirjen Agus Purnomo mengungkapkan kalau Juknis dan Juklak akan diumumkan dan keluar paling tidak dua bulan sebelum pemberlakuan peraturan tersebut. “Mudah-mudahan di bulan November sudah ada,” ungkapnya usai resmi membuka FGD yang digelar alumni ITS di Jakarta.
Dirjen juga mengungkapkan pada awal pelaksanaan PM 53 tentang kelayakan petikemas, yang akan disasar untuk verifikasi adalah petikemas luar negeri, karena untuk domestik pengawasannya lebih mudah.
“Sampai saat ini belum ada lembaga surtifikasi yang ditunjuk pemerintah. Tapi, BKI sudah mengajukan untuk itu,” ujarnya.
Sebagaimana diberitakan, selain PM 53, Menhub juga mengeluarkan PM 83/2016 tentang usaha depo petikemas. Dalam PM tersebut menyebutkan bahwa perbaikan petikemas, termasuk kelayakannya sudah dilakukan di depo bersangkutan. “Kami semua depo di Jakarta sudah siap baik infrastruktur maupun tenaga ahlinya,” kata H. Muslan, Ketua Umum Asosiasi Depo Petikemas Indonesia (Asdeki).
Karena itu, Muslan menyatakan jika verifikasi kelayakan petikemas sesuai PM 53 tahun 2018 dilakukan melalui depo kontainer, diyakini ada potensi pendapatan mencapai Rp 2 triliun bakal masuk ke usaha depo anggota asosiasi ini.
“Mayoritas depo kontainer disini sudah siap untuk melaksanakan verifikasi kelayakan petikemas, dan selama ini juga sudah berjalan,” kata H. Muslan, Ketua Umum DPP Asdeki menjawab Ocean Week, pada pers conference usai FGD implementasi kelaikan dan berat kotor terverifikasi petikemas dalam menunjang keselamatan pelayaran, bertempat di Santika Hotel Kelapa Gading Jakut, Selasa (23/10).
Seperti diketahui bahwa PM 53 tahun 2018 tentang kelayakan petikemas dan berat kotor petikemas (VGM) akan diberlakukan mulai Januari 2019 mendatang. Tetapi, untuk VGM sudah diberlakukan di pelabuhan Priok.
Untuk kelayakan petikemas sesuai PM 53, Kemenhub sedang menggodok Petunjuk Teknis (Juknis) dan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) yang menurut Dirjen Hubla Agus Purnomo, akan diumumkan pada November 2018 mendatang.
Namun, Asdeki meyakini jika Juknis dan Juklak PM 53 belum akan siap dalam waktu dekat ini. Karena itu Asosiasi Depo petikemas Indonesia (Asdeki) meminta pemerintah (Kemenhub) menunda pelaksanaan PM 53/2018 tentang kelayakan petikemas, minimal 6 bulan kedepan, terhitung dari rencana pemberlakuan pada bulan Januari 2019 nanti.
“Kami minta agar pemerintah mengevaluasi kembali, menyiapkan segala sesuatunya dengan baik, sehingga saat pelaksanaan PM 53 itu sudah benar-benar siap. Kalau verifikasi kelayakan petikemas itu dipercayakan kepada Asdeki, ada peluang masuk pendapatan sebesar Rp 2 triliun ke depo anggota Asdeki,” kata Mulan.
Peluang pendapatan Rp 2 triliun tersebut dihitungnya dari biaya total rekondisi (perbaikan petikemas) sekitar Rp 10 juta per petikemas x 2 juta petikemas yang direkondisi x 25 ribu petikemas. “Kami di depo sudah siap baik infrastruktur maupun tenaga ahli yang sesuai ketentuan aturan dalam PM 53,” ujar Muslan.
Sementara itu Capt. Subandi, ketua Ginsi Jakarta yang sekaligus ketua dewan pembina GPEI menyatakan untuk VGM (berat kotor petikemas) diakuinya sudah berjalan satu tahun lebih. “VGM sudah diberlakukan di Tanjung Priok, dengan pelaksana PT BKI bekerjasama dengan terminal petikemas di Tanjung Priok. Ini aneh, karena PM 53 belum resmi diberlakukan, namun VGM sudah dilakukan dan bayar, kok bisa ya,” katanya.
Subandi juga minta supaya pelaksanaan peraturan ini ditunda sampai benar-benar siap. “Mestinya VGM itu bagian dari service terminal petikemas, bukan malah dibebankan ke eksportir yang bayar,” ungkapnya.
Ketua dewan penasehat GPEI ini juga menyatakan karena peraturan itu belum resmi pelaksanaannya, maka Subandi menganggapnya sebagai kegiatan ilegal. “Kegiatan penimbangan berat kotor petikemas itu ilegal, karena kami (GPEI) tak pernah dilibatkan, siapa yang bersepakat sehingga VGM diberlakukan. Kami (GPEI) tak pernah menandatangani kesepakatan pemberlakuan VGM di Priok,” ungkap Subandi.
Dia mengaku sejak awal sudah menolak terhadap pemberlakuan VGM di pelabuhan Priok, apalagi eksportir harus bayar atas jasa VGM tersebut. “Mestinya yang bayar bukan beban consignee, atau pemilik barang, namun itu seharusnya menjadi bagian service dari terminal.
Makanya, GPEI berencana menyurati Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi untuk mengevaluasi kembali pemberlakuan VGM tersebut. “Pemerintah (Kemenhub) mesti mau menerima masukan dari pihak swasta sebagai pelaku.
Menurut Subandi, dalam aturan IMO, dinyatakan bahwa shipper (pemilik barang) wajib mencantumkan berat barang dalam kontainer, tidak ada beban bayar.
Sebenarnya, kata Subandi, pemilik barang dipastikan tak keberatan membayar sepanjang ada manfaatnya. Tapi, apa manfaat dari VGM ini bagi consignee, lain halnya dengan pemeriksaan isi petikemas, pemilik barang diharuskan bayar juga tidak protes, karena ada manfaatnya.
Untuk itu, Subandi juga minta agar PM 53 tahun 2018 dievaluasi total, baik untuk kelayakan petikemas maupun VGM-nya.
Di tempat sama, Ketua Umum GPEI Khairul Mahalli juga sependapat dengan Muslan maupun Subandi. Dia pun minta pemerintah melakukan evaluasi total terhadap PM 53/2018, karena pihaknya merasa tak pernah dilibatkan, apalagi soal VGM.
“GPEI tak mau ada biaya tinggi, karena akan mengganggu ekspor. Karena itu, VGM harus dievaluasi, termasuk kelayakan petikemas sesuai PM 53,” ujar Khairul. (rid/**)