Pelabuhan Tanjung Priok bisa untuk dijadikan sebagai pusat konsolidasi barang, karena selama ini lebih kurang 70% kegiatan ekspor-impor Indonesia melalui pelabuhan di Jakarta ini.
Sementara itu Kuala Tanjung bagus jika direncanakan sebagai hub internasional, karena dari sisi geografis letaknya berada pada perairan pelayaran internasional searah dengan Pelabuhan Tanjung Pelepas Malaysia maupun Pelabuhan Singapura.
“Namun, untuk jadi hub, mesti mampu meyakinkan pelayaran ‘mampir’ dan mau menggunakannya, karena mereka akan berpikir apa untungnya jika mesti singgah ke Kuala Tanjung. Ada baiknya pemerintah menggandeng pelayaran besar dunia, bisa CMA CGM, Maersk, atau MSC, sehingga pelabuhan/terminal ini dapat dijadikan basic mereka,” kata Ketua Komite Tetap Bidang Perhubungan Kadin Indonesia Asmari Heri kepada Ocean Week, di Jakarta.
Sebab, menurut Asmari, untuk hub internasional, barang-barang yang diangkut oleh pelayaran tidak ada hubungannya dengan Indonesia. Misalnya, Pelabuhan Singapura, barang-barang yang diangkut kapal dari Thailand ke Eropa, tapi kapal transhipment ke Singapura, itu tidak ada iurusan dengan Singapura.
Berbedan, kalau barang yang dibawa itu untuk kebutuhan Negara bersangkutan. Dan dipastikan container handling charge (CHC) –nya juga mahal. Sebagai contoh di Singapura, CHC dipungut US$ 150, padahal di Indonesia hanya US$ 83. Namun jika container transhipment oleh Singapura hanya dikenai biaya US$ 40.
Selama ini, Indonesia sudah terjebak dengan opini yang dibangun oleh Singapura, bahwa ongkos bongkar muat lewat Singapura murah. “Yang murah itu untuk barang transhipment, tapi kalau barang untuk kebutuhan negaranya ongkos bongkar muatnya lebih mahal dibandingkan Indonesia,” katanya.
“Apakah pemerintah Indonesia bisa seperti iu. Tentunya dengan menjadikan hub port, ada konsekuensi yang mesti diberikan pemerintah kepada pelayaran, sebagaimana pemerintah Singapura kepada pelayaran, begitu pula pemerintah Malaysia terhadap Maersk,” ucapnya.
Kata Asmari, untuk menjadikan hub port, Kuala Tanjung sangat memungkinkan. Apalagi letaknya berada pada perairan internasional. Asalkan pemerintah Jokowi mampu menampung keinginan pelayaran yang akan digandengnya.
Terhadap Tanjung Priok, pemerintah dapat menjadikannya sebagai pelabuhan transhipment domestic. “Jadi nantinya, jika Kuala Tanjung sebagai hub internasional, barang-barang yang selama ini pengapalan lanjutannya lewat Singapura, bisa dikapalkan lewat Kuala Tanjung, karena kapal besarnya ada di Kuala Tanjung,” ungkapnya.
Direktur PT Samudera Indonesia ini yakin pemerintah Indonesia mampu untuk itu. “Sederhana saja, panggil pelayaran besar dunia, siapa yang mau menggunakan Kuala Tanjung, bagaimana sharenya, seperti pemerintah Malaysia sewaktu memasarkan Tanjung Pelepas,” turunya.
Mantan Wakil Ketua Umum DPP INSA bidang container ini juga optimis, karena selain menjadi pasar terbesar ASEAN, letak Kuala Tanjung sekali lagi sangat strategis sebagai hub port.
“Jika pemerintah tidak berencana seperti itu, forgeted Indonesia akan memiliki hub port internasional, dan pelabuhan-pelabuhan disini (Indonesia-red) akan tetap seperti sekarang ini,” katanya.
Domestik
Dimintai tanggapan tentang pertumbuhan angkutan laut domestic, Asmari menyatakan bahwa angkutan untuk domestic bagus, bahkan bertumbuh hingga 6%. “Kalau pelayaran domestic tumbuh, karena kebutuhan masyarakat local juga semakin tinggi, sehingga pelayaran pun ikut membaik,” kata Asmari.
Makanya, beberapa perusahaan pelayaran melakukan pembelian kapal baru, seperti Tempuran Emas, Tanto, dan lainnya. “Itu karena pangsa pasar domestic bagus,” ungkapnya.
Berbeda dengan apa yang diungkapkan Ketua DPC INSA Surabaya Stenvens Lesawengan. “Sekarang ini pelayaran kelebihan ruang kapal, karena masih rendahnya pertumbuhan ekonomi. Persaingan antar perusahaan terjadi untuk merebut pasar. Selain itu, banyak kebijakan pemerintah yang baru, dan itu membebani usaha pelayaran,” ujar Stenvens kepada Ocean Week per telpon.(ow)