Ketua Dewan pertimbangan Gabungan Pengusaha angkutan sungai danau dan penyeberangan (Gapasdap) Bambang Haryo Soekartono (BHS) mengatakan Peran angkutan penyeberangan atau kapal ferry telah memberikan kontribusi sangat besar terhadap ekonomi dan mempererat NKRI yang ada di kepulauan Indonesia.
Menurut anggota DPR-RI terpilih periode 2024-2029 bahwa nilai ekonomi yang dimunculkan oleh angkutan penyeberangan ini, juga memberikan jaminan keselamatan, nyawa, barang, dan uang publik secara maksimal terbukti korban kecelakaan hanya berkisar 0.002 %, dan bisa dikatakan mendekati zero accident. Padahal tarif yang berlaku di Indonesia masih jauh dari standarisasi perhitungan tarif sesuai dengan formulasi tarif yang di hitung oleh Pemerintah c/q Kementrian Perhubungan.
“Tarif ini dibutuhkan untuk memenuhi standarisasi keselamatan dan kenyamanan di transportasi tersebut. Dimana banyak digunakan oleh masyarakat. Dan ini tentu tidak boleh dikurangi,” ujar Alumni ITS Teknologi Perkapalan dalam diskusi yang digelar Gapasdap, Rabu (12/9), di Yogjakarta.
Dikatakan BHS, harga satu nyawa publik ini tidak terhingga harganya. “Ini yang harus kita lindungi dan yang diminta oleh Gapasdap kenaikan tarif harus di sesuaikan dengan besaran yang telah dihitung oleh Pemerintah, Gapasdap dan YLKI, yaitu kekurangannya sebesar 37%, yang bila direalisasikan hanya berdampak sekitar 0,04 % dari nilai logistik. Namun hal ini belum direalisasikan oleh Pemerintah,” jelas BHS.
Masalah tarif ini sudah jelas, kata BHS, sudah ada formulanya sesuai PM 66 tahun 2019 dengan melihat adanya kenaikan inflasi, kenaikan Dollar yang berakibat suku cadang dan perawatan, UMR dan lain lain, sudah seharusnya bisa disesuaikan.
“Sebagai contoh, saat ini sudah banyak Perusahaan penyeberangan yang mengalami kesulitan bahkan tidak bisa menggaji pegawai selama 3 bulan dan ada yang mencicil lebih dari satu tahun. Ini bisa dibayangkan, apa bisa Sumber Daya Manusia di perusahaannya menjamin keselamatan dan pelayanan di transportasinya. Mereka pasti akan menurunkan lebih dulu standarisasi kenyamanan, standarisasi keselamatan, dan akhirnya kehandalan keberlangsungan usahanya. Ini juga sudah dialami oleh beberapa perusahaan, dan bahkan perusahaan terbesar yang memiliki 58 unit kapal dan harus dijual. Ini harus diseriusi oleh Pemerintah,” ungkapnya.
“Tadi juga dikatakan, Logistik performance Index (LPI) ada pada posisi 14%, tetapi ini jangan disalahkan dari sisi transportasinya, Apalagi transportasi laut. Kontribusinya sangat kecil sekali dibanding transportasi darat. Dan masih ada komponen lain yang mempengaruhi biaya logistik misalnya inventory atau persediaan, packaging (penyimpanan), perpajakan, yang memberikan nilai ongkos logistik lebih besar daripada transportasi. Apalagi industri penyebrangan. Biaya logistiknya memberi kontribusi yang sangat kecil terhadap biaya logistik yang ada di LPI,” paparnya.
Lebih lanjut, BHS menyinggung sedikit mengenai kemacetan pelabuhan merak. Menurut BHS kesalahan ada pada6 penyedia infrastruktur prasarana Dermaga, sebab dermaga kita sangat kurang dibanding dengan jumlah kapal.
“Saat terjadi kemacetan lebih dari 60 % kapal tidak bisa beroperasi karena kurang nya dermaga. Tetapi saat itu juga dipicu kesalahan pengaturan jumlah kapal yang beroperasi di setiap dermaga ada 6 kapal, yang mengakibatkan traffic melambat. Sehingga hanya menghasilkan 90 trip per hari,” kata BHS.
Bambang juga menyinggung soal angkutan setelah lebaran, paling tidak diterapkan 4 unit kapal di setiap dermaga yang berjumlah 7 dermaga, hasil jumlah tripnya menjadi 120 trip. Naik sekitar 2 %. Dan ini bila di terapkan saat angkutan lebaran, maka tentu bisa diantisipasi kemacetan di lintasan Merak Bakauheuni tersebut.
Menurut Bambang, keberhasilan kelancaran industri angkutan penyebrangan tentu sangat bergantung kepada kerjasama Stakeholder nya. Yaitu Regulator (Pemerintah), Fasilitator (Kepelabuhanan), Operator (Perusahaan Pelayaran), dan User (Konsumen).
“Harusnya Regulator bisa mengatur pergerakan User (konsumen), agar bisa menggunakan angkutan penyebrangan pada masa atau waktu Low Season, agar tidak terjadi penumpukan atau kemacetan. Dan tugas daripada Fasilitator (ASDP), harus bisa merealisasikan tambahan 2 pasang dermaga, sehingga bisa menambah kapasitas angkut sebanyak 8 unit kapal, yang saat ini menganggur sebagai tambahan kapasitas angkut dengan menganggarkan dari keuntungan ASDP yang mendekati hampir 1 trilliun rupiah se tahun sebagai pengelola kepelabuhanan, atau mengajukan bantuan Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk merealisasikan pembangunan dermaga agar bisa mendukung kelancaran di Lintasan Merak-Bakauheuni,” jelas BHS. !***)