Praktik penjualan batu bara ilegal di Kaltim terungkap. Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI dalam Operasi Nusantara berhasil menangkap kapal tongkang Robby 221 mengangkut batu bara sebanyak 5.500 metrik ton (MT) di perairan Pelabuhan Pondong, Paser, baru-baru ini. Kapal tersebut ditarik dengan Tugboat Bloro 1.
Kepala UPH Bakamla RI Brigjen Pol Frederik Kalalembang menyatakan, batu bara tersebut rencananya akan dibawa ke Samarinda. Selanjutnya ditampung di Mother Vessel MV Glovis Desire yang saat ini berada di perairan Muara Berau.
Frederik mengatakan bahwa kapal tongkang Robby 221 tidak bisa memperlihatkan dokumen aslinya saat dilakukan pemeriksaan. “Diduga asal batu bara tersebut tidak sesuai dengan yang tertera di fotokopi dokumen yang diperlihatkan. Makanya kapal kami tangkap,” jelas Frederik melalui keterangan tertulis, kemarin.
Saat ini pihaknya sedang melakukan pengembangan dengan mencari tahu asal-usul dokumen batu bara tersebut yang berasal dari salah satu koperasi di Paser.
Sementara itu, Kepala Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP) Kelas II Tana Paser Amir Pangi mengaku belum mengetahui penangkapan tersebut. Dia yang baru saja tiba di Kaltim dari Jakarta untuk urusan pekerjaan, tak berani komentar. “Saya belum mendalami kasusnya,” ujarnya.
Penangkapan kapal tongkang yang memuat batu bara dari kegiatan haram tersebut semakin membukakan mata bahwa aktivitas itu masih terjadi di Benua Etam. Tak menutup kemungkinan, kegiatan sama juga terjadi di lokasi lain. “Baru tahu ada penangkapan itu,” ucap Kepala Bidang Mineral dan Batu Bara (Minerba) Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim Goenoeng Djoko Hadi.
Tersiar kabar batu bara itu diduga diambil dari konsesi PT BHP KCI. Goenoeng menanggapi, bisa jadi indikasinya demikian. Kasus penambangan ilegal di area BHP KCI itu sedang ditangani Bareskrim. Batu bara disebut bakal dibawa ke Samarinda untuk ditampung ke mother vessel. “Artinya, batu bara itu mau diekspor,” kata Goenoeng. Dia melanjutkan, sebenarnya kualitas batu bara di Paser itu tak begitu bagus. Hanya, diuntungkan dengan biaya operasional yang rendah. Batu bara tersingkap di permukaan.
Dikatakan, semenjak ada peraturan dari Direktur Jenderal (Dirjen) Minerba Kementerian ESDM, organisasi perangkat daerah teknis di daerah tak bisa mengendalikan asal-usul batu bara yang hendak dikapalkan.
Pemilik batu bara hanya disyaratkan menunjukkan laporan hasil verifikasi (LHV) yang diterbitkan surveyor untuk bisa mengantongi surat rencana kegiatan bongkar muat (RKBM) dari Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP). “Kalau ternyata ada ditemukan penjualan batu bara ilegal, surveyor yang harusnya bertanggung jawab mengapa meloloskan,” tegasnya.
Sudah semestinya surveyor yang ditunjuk turut menelusuri ke hulu alias asal barang. Bukan malah begitu saja percaya surat keterangan asal barang yang diterbitkan pemilik IUP. Dinas ESDM Kaltim sempat protes terhadap peraturan yang diterbitkan pemerintah pusat tersebut. Dalam penggodokan aturan itu, daerah tak pernah disosialisasikan. Tiba-tiba saja tahu sudah terbit.
Surat dari kepala Dinas ESDM Kaltim dilayangkan kepada Dirjen Minerba yang isinya meminta agar dipertimbangkan untuk dilakukan tinjau ulang terhadap regulasi tersebut. “Dijawab salah satu direktur di Ditjen Minerba, aturan itu tetap diberlakukan. Alasannya, untuk memperlancar investasi, bukan menghambatnya,” ucapnya.
Akibatnya, pengawasan dan pengendalian batu bara di sisi hilir tak dimiliki Dinas ESDM. Maka itu, hendaknya sebelum batu bara mendapat izin dikapalkan tak hanya berpegangan dengan LHV. Diperlukan pula keterlibatan Dinas ESDM untuk memverifikasi asal barang tersebut. Aturan sebelumnya demikian.
Secara materiil, terang Goenoeng, memang negara tak dirugikan. Modus yang mereka gunakan adalah menggunakan Izin Usaha Pertambangan (IUP) berizin untuk menampung batu bara ilegal. Royalti terhadap batu bara tersebut tetap disetorkan ke kas negara. Namun, dari sisi lingkungan babak belur. Dalam menambang tak memerhatikan pengelolaan pertambangan yang baik dan benar.
Goenoeng menerangkan, saat sekarang harga jual sekira Rp 500 ribu per metrik ton. Bila mengangkut 5.500 MT, artinya seharga Rp 2,75 miliar. Dari nominal itu, lima persen yang mereka setorkan untuk pembayaran royalti atau setara Rp 137,5 juta per pengapalan. Itu dengan catatan batu bara hanya ditampung lewat ponton. Bila melalui mother vessel (kapal besar kapasitas 30–40 MT), harga jual dikurangi dengan biaya bongkar muat. (prokal/***)