Pemerintah perlu serius menangani nasib ke-39 kapal ‘mati’ yang ada di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Sebab, jika satu per satu kapal-kapal itu tenggelam, akan berdampak negatif bagi pelabuhan internasional ini.
Belum lama ini, satu kapal diantara kapal-kapal itu sudah tenggelam (kapal sweet istambul), lalu ada satu lagi kapal Samratulangi PB 1600 milik BUMN Djakarta Lloyd, kondisinya juga sudah kritis.
Informasi yang diperoleh Ocean Week, Kantor Syahbandar Utama Tanjung Priok sudah membahas masalah kapal-kapal mati ini dengan pengurus INSA Tanjung Priok, belum lama ini. Syahbandar minta supaya INSA Priok memberitahukan kepada para pemilik/keagenan kapal itu untuk menarik ketempat aman dari dalam/luar alur pelabuhan Tanjung Priok.
Cuma, sumber di INSA Priok menyatakan bahwa surat yang dikirim kantor syahbandar hanya mengenai zonanisasi. Bukan khusus untuk menangani mengenai kapal-kapal mati itu. Mengenai nasib puluhan kapal mati itupun belum jelas.
Sumber lain di pelayaran juga mengungkapkan, bahwa dintara kapal-kapal mati itu, kondisi fisiknya sudah tak lagi utuh. “Banyak barang-barang kapal yang hilang, apalagi banyak yang tidak dijaga, dan lagi pula sudah tahunan tak diurus,” ujar sumber yang keberatan disebut namanya kepada Ocean Week, akhir pekan lalu.
Sumber tadi juga mengemukakan, jangankan kapal yang sudah tahunan tak diurus pemiliknya, kapal yang masih aktif dan baru ‘engker’ beberapa bulan pun sempat kecurian.
Sayangnya, para pelayaran itu tidak mau melaporkan kepada pihak berwenang, karena dengan mereka lapor justru akan merepotkannya sendiri. Itu sebabnya, pentingnya pengawasan, patroli dan sterilisasi pelabuhan Tanjung Priok sesuai peraturan ISPS-Code.
Padahal, di Priok, institusi pengamanan cukup lengkap, ada kepolisian, bea cukai, syahbandar, dan KPLP. Tetapi, terhadap kapal-kapal mati tersebut, siapa bertanggung-jawab dalam hal pengamanannya. Syahbandar kah, atau Otoritas Pelabuhan.
Jika, keberadaan puluhan kapal mati itu tidak segera diatasi, maka pelebaran alur pelayaran di pelabuhan Priok yang akan dilakukan oleh PT Pelindo II kemungkinan menjadi terganggu. Disisi lain, para pemilik kapal pun harus sadar akan bahaya bisa menimpa pelabuhan jika kapalnya tenggelam.
Ini mesti menjadi tugas semua institusi terkait, bukan saja Syahbandar, Otoritas Pelabuhan, namun juga para pemilik kapal dan operator pelabuhan Tanjung Priok. Jika tidak ada kesadaran maupun kemauan menyelesaikan bangkai-bangkai kapal tersebut kedalam zonasi tertentu, pantaskah pelabuhan Tanjung Priok mengklaim sebagai pelabuhan yang sudah comply ISPS-Code. (***)