Asosiasi Depo Kontainer Indonesia (ASDEKI) mengusulkan agar pemerintah menunda pelaksanaan PM 53 tahun 2018 tentang kelayakan petikemas dan VGM (verifikasi gross map) yang rencananya diberlakukan mulai Januari 2019.
“Kami usul agar implementasi PM 53/2018 diundur sampai pemerintah betul-betul siap, baik infrastruktur maupun suprastrukturnya. Bagaimana Juklaknya, Juknisnya, bagaimana SDM-nya untuk lembaga surveynya, jangan sampai nantinya saat pelaksanaan malah justru kacau,” kata H. Muslan, Ketua Umum DPP Asdeki, saat ditemui Ocean Week, di Jakarta Utara (17/10), usai diskusi mengenai Peluang dan Tantangan usaha Depo Petikemas, kedepan.
Muslan menyatakan, bahwa sebenarnya kalau bicara soal kelayakan petikemas sesuai PM 53/2018, sertifikasi kelayakan petikemas yang paling pas pemeriksaanya adalah di depo petikemas. “Sebab, mayoritas usaha depo petikemas sudah memiliki tenaga ahli berstandar IICL (Institute of International Container Lessor) seri 6 (surveyor). Selain itu, semua depo infrastrukturnya juga sudah siap, dan selama ini pun sudah berjalan ngga ada masalah,” ujarnya dibenarkan Khairul Mahalli, Sekjen Asdeki dan sejumlah pelaku usaha depo.
Lagi pula, ucap Muslan, dengan dilakukan pemeriksaan di depo akan mamp menekan cost logistik. Muslan juga menceritakan bahwa petikemas yang saat digunakan dari negara asal layak, begitu sampai di depo belum tentu layak, karena ternyata, setelah dilakukan survey di depo ada kerusakan. “Mungkin rusak saat di bongkar di pelabuhan atau saat dinaikkan ke truk atau rusak saat di gudang penerima barang, itu bisa terjadi,” kata Muslan.
Sebab itu dengan adanya PM 53, usaha depo mempunyai peluang sekaligus tantangan yang dihadapinya kedepan. “Tantangannya, depo mesti siapkan infrastruktur sesuai dengan standar internasional atau peraturan yang berlaku lokal, konsekuensinya adalah masalah biaya,” ujarnya lagi.
Ditanya siapa yang harus membayar untuk sertifikasi ulang petikemas itu, Muslan mengatakan, yang bayar untuk beban itu adalah yang memakai petikemas, bukan pemilik (shipping). Memang pada saat awal yang bayar shipping line (pemilik), tapi setelah petikemas itu disewa atau digunakan oleh importir, yang mesti bayar seharusnya penyewa (pengguna) atau importir yang menggunakan petikemas tersebut.
Sementara itu, peluang dengan adanya PM 53 tersebut, Muslan mengungkapkan kalau peluangnya besar. Sebab, selama ini verifikasi petikemas sudah dilakukan di depo, apalagi dengan adanya peraturan tersebut, akan semakin membuka peluang bagi usaha depo.
Muslan mengaku kalau 29 usaha depo anggota Asdeki di Jakarta sudah siap dengan pemberlakuan PM 53 tersebut. “Hanya saja itu tadi, apakah pemerintah sudah siap benar,” kata Muslan.
Ketua Asdeki ini menambahkan, sebenarnya ongkos buruh untuk repair petikemas di Indonesia tergolong muarah dibandingkan negara luar seperti Malaysia, Singapura, atau Amerika Serikat.
Di Amerika, ongkos buruh repair petikemas per jam sebesar US$ 65, sedangkan di Malayisa sekitar US$ 7 per jam, dan di Singapura sebesar US$ 11 per jam. Sementara di Indonesia hanya US$ 2 per jam. “Repair rata-rata memerlukan waktu 10 jam, itu terhadap kerusakan kecil, tapi kalau kerusakan besar bisa lebih dari 50 jam,” kata Muslan diiyakan para anggotanya.
Sementara itu, Khairul Mahalli (Sekjen Asdeki) menyatakan jika semua depo sudah mempunyai tenaga surveyor sesuai dengan kompetensinya. “Pengguna jasa petikemas tak mungkin pakai kontainer yang tak layak, dan selama ini sudah jalan, petikemas masuk ke depo, kalau ada yang rusak direpair, baru kemudian digunakan oleh penyewa,” jelas Khairul.
Meski begitu depo petikemas bakal menghadapi tantangan karena adanya regulasi yang tumpang tindih. Misalnya pemerintah (Kemenhub) sudah mengeluarkan PM 83 mengenai usaha depo petikemas, sekarang muncul PM 53 tentang kelayakan petikemas. “Pemerintah tak perlu keluarkan banyak aturan, yang penting bagaimana lembaga surveyor untuk sertifikasi petikemas, bersinergi dengan depo petikemas, itu sudah jalan,” ungkapnya.
Carlo Mojica dari CyberLgitec Singapura menyatakan, untuk mengetahui pengaturan kontainer ini supaya tersistematis, perlu disiapkan IT sistem, dimana dari sistem IT itu, perjalanan kontainer dapat terdeteksi, jadi semua bisa dimonitor. “Dimana sebenarnya petikemas itu mulai rusak, apakah sudah dari tempat asal atau dimana, akan termonitor,” katanya.
Hal itu juga sesuai harapan Muslan. “Mestinya agar tidak saling tuduh, di setiap lokasi petikemas itu berhenti, misalnya dari negara asal, sampai di pelabuhan tujuan disurvey dan kemudian diberikan catatan, lalu petkemas itu kemana lagi, juga diberi catatan lagi, sehingga jika terjadi kerusakan akan ketahuan mulai dari mana rusaknya,” ungkap Muslan. (rid/***)