Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) tetap minta supaya Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengeluakan peraturan tambahan dalam Permenhub 152 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Bongkar Muat Barang dari dan ke Kapal.
Karena, tanpa ada peraturan tambahan, BUP Konsesi (Pelindo) yang mengerjakan sendiri bongkar muat barang di wilayahnya seharusnya tidak diperbolehkan. Namun dalam PM 152/2016, ada yang menyebutkan bahwa BUP konsesi diperbolehkan mengerjakan kegiatan bongkar muat, dan itu akan diatur dalam peraturan menhub tersendiri.
“Dalam PM 152/2016, Pak Menteri (Menhub-red) belum mengeluarkan aturan tambahan mengenai itu (bahwa BUP Konsesi yang dibolehkan malakukan kegiatan bongkar muat barang akan diatur dalam peraturan menhub tersendiri,” kata Ketua Umum DPP APBMI, HM Fuadi kepada Ocean Week, di sela Pembukaan Munas ALFI ke-6, di Jakarta, Selasa (4/12).
Menurut Fuadi keinginan perubahan Permenhub 152 tersebut juga muncul pada waktu APBMI melaksanakan Rakernas di Makassar, beberapa bulan lalu. “APBMI dari daerah mendesak agar Menhub merevisi PM 152 itu,” ujarnya.
Namun begitu, katanya, untuk para PBM di Jakarta (Tanjung Priok) tidak ada usulan mengenai hal tersebut. Bahkan, dia mengaku sudah sering bertemu dengan pihak Pelindo II untuk membahas masalah ini. “Disini (Priok-red) semua PBM bisa bekerja, tapi dengan syarat berkontribusi 40%, dan ini sudah berjalan. Di daerah tidak mau jika diminta mengadopsi sistem yang dilakukan seperti di Priok,” kata Fuadi.
Sementara itu, pakar Kemaritiman Institut Teknologi Sepuluh November Raja Oloan Saut Gurning ketika dimintai komentarnya sehubungan dengan PM 152, menyatakan ada 4 rekomendasi yang disampaikannya untuk pemerintah.
Pertama, rekomendasi perubahan PM 152/2016 yang baru lebih mengembangkan pasal 16 dengan pola yang lebih mendorong kolaborasi antara Badan Usaha Pelabuhan (BUP) dan Perusahaan Bongkar Muat (PBM) dengan kemampuan tertentu sebagai persyaratan.
Kedua, BUP dapat melakukan kegiatan bongkar muat sendiri jika tidak ada PBM yang dapat melaksanakan atau memiliki kemampuan baik organisasi, modal dan peralatan sesuai standar kinerja operasional.
Ketiga, mendorong PBM yang memiliki persyaratan menjadi BUP di berbagai pelabuhan baru atau disejumlah lokasi pelabuhan yang dapat diusahakan.
Keempat, prinsip kolaborasi dilakukan berdasarkan prinsip business to business yang dapat memenuhi komitmen kepada pengguna jasa baik Service Level Agreement maupun Service Level Guarantee (SLA/SLG) dari layanan kegiatan bongkar-muat barang khususnya jasa stevedoring.
“Lalu proses kolaborasi harus memberi manfaat komersial kepada kedua belah pihak. Afirmatif perlu diberikan kepada PBM dengan tujuan PBM dapat menjadi BUP di masa mendatang,” kata Saut Gurning.
Fuadi berharap, soal PM 152/2016 ini tak lagi ada masalah, pemerintah pun bisa memberi solusi terbaik untuk para PBM yang bekerja di pelabuhan. (***)