Indonesian National Shipowners Association (INSA) meminta pemerintah memberikan relaksasi terhadap penggunaan biodiesel 20 persen (B20) di industri perkapalan. “Kami minta ditunda sampai ada kajian teknis mengenai dampak B20 terhadap kapal,” kata Sekretaris Umum DPP INSA, Budhi Halim, di Jakarta.
Namun Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyatakan, pemerintah tetap mewajibkan kepada pelayaran untuk menggunakan B20 tanpa pertimbangan apapun. “Kami meminta mereka (pengusaha) untuk comply, patuh dengan aturan yang sudah pemerintah keluarkan,” kata Airlangga.
Menurut Airlangga, pemerintah sudah mendengar permintaan dari asosiasi terkait relaksasi B20 sejak dua bulan lalu. Terakhir, ujarnya, masukan itu disampaikan asosiasi pada Rabu (14/11) sore di kantor Kementerian Perindustrian.
Budhi Halim mengungkapkan, Permintaan mundur implementasi itu, karena sejauh ini B20 belum dapat digunakan armada kapal Indonesia dikarenakan efek negatifnya terhadap mesin. “Kandungan asamnya itu bisa menimbulkan korosi pada mesin kapal,” ungkapnya.
Kata Budhi, korosinya dapat merusak sejumlah komponen seperti turbocharger, economizer hingga cerobong. Apabila dibiarkan terus menerus, kapal dapat mati atau tidak dapat difungsikan kembali dalam kurun waktu dua tahun. Dampaknya, pengusaha harus membeli kapal lagi atau memperbaiki dengan harga yang tidak murah.
Sementara itu, Ketua Umum ALFI, Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan bahwa asosiasi Logistik ini mendukung terhadap kebijakan pemerintah mengenai penggunaan B20 terhadap kapal, namun dengan catatan. “Perlu diuji dulu, bagaimana dengan jaminannya, apakah kalau menggunakan campuran B20, benar-bear tidak merusak mesin kapal sebagaimana yang dikhawatirkan pelayaran. Apakah Pertamina juga berani menjamin, bagaimana pula dengan pola pencampurannya,” ungkap Yukki.
Budhi Halim menambahkan, penggunaan B20 hanya cocok untuk kapal baru saja yang mesinnya memang sudah dirancang khusus. Untuk kapal lama, baik itu impor maupun lokal, masih belum compatible dengan bahan bakar diesel campuran minyak nabati 20 persen dengan minyak bumi itu.
Budhi juga minta kepada pemerintah dan Pertamina untuk memberikan solusi, terutama dengan menguasai teknologi yang mampu menghilangkan kandungan asam biodiesel. Dengan cara ini, B20 akan bisa dimanfaatkan industri pelayaran. “Kami bukannya menolak perintah atau keinginan pemerintah. Hanya saja. faktor teknisnya merugikan kapal,” tegas Budhi.
Dia menilai bahwa penggunaan B20 pada kapal justru berpotensi merugikan pemerintah. Sebab, apabila kapal mengalami rusak akibat korosi, pengusaha akan meminta pihak asuransi untuk membantu menutupi biaya perbaikan. “Asuransi bisa berasal dari lokal atau asing, tergantung asal produksi kapal,” tuturnya lagi.
Kalau setelah dikaji, pihak asuransi menetapkan bahwa penyebab korosi murni disebabkan B20, asuransi pasti akan meminta ganti rugi kepada pemerintah. “Karena mereka (pemerintah) yang mencanangkan program B20, mewajibkan, jadi mereka penanggung jawabnya,” ujarnya.
Selain kualitas, Budhi meminta agar pemerintah dapat menjamin ketersediaan pasokan untuk jangka panjang dan harga yang kompetitif. Menurutnya, apabila hal ini sudah dipenuhi, pengusaha pelayaran niaga akan mendukung secara maksimal kebijakan B20.
Seperti diketahui, usulan INSA untuk relaksasi B20 ini sudah disampaikan kepada pemerintah melalui surat bernomor 153/INSA/X/2018. Surat itu ditujukan kepada sejumlah menteri yaitu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto.
Airlangga menyatakan, pemerintah tetap pada keputusannya, bahwa B20 harus dilaksanakan. Menurut dia, pemerintah tidak akan membedakan sektor yang memang diwajibkan menggunakan B20. Airlangga mencontohkan, kapal milik TNI dan truk besar pengangkut barang sudah menerapkan peraturan sebelum penggunaan B20 mulai diwajibkan pada awal September 2018 lalu.
Sementara itu, pada Kamis (15/11), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution kembali memimpin rapat koordinasi (rakor) membahas penggunaan biodisel sebesar 20 persen (B20). Rakor bertujuan mengevaluasi perkembangan perluasan B20 sejak diluncurkan pada 1 September 2018.
Hadir Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan Djalil, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Djoko Siswanto, dan Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Rida Mulyana.
Usai rapat, kepada wartawan Sofyan Djalil menyatakan, implementasi B20 sejauh ini tidak ada masalah. Namun pelaksanaannya di lapangan tetap harus dimonitoring. Ini untuk memastikan apa saja yang perlu dibenahi pemerintah. “Tadi dievaluasi mana yang belum tercapai, apa kendalanya,” ujarnya.
Penerapan Biodiesel 20 persen (B20) untuk PSO (Publik Service Obligation) dan non PSO telah berjalan selama dua bulan terakhir. Pemerintah pun mengklaim penerapan B20 sudah menghemat impor solar sebesar 4.000 kiloliter (Kl) per hari. (ow/rep/***)