Pelaksanaan Tol Laut masih harus terus dioptimalkan agar dampaknya bisa dirasakan oleh masyarakat secara langsung yakni mampu menurunkan biaya logistik dan menekan angka disparitas harga barang.
“Dari tahun ke tahun penyelenggaraan angkutan barang di laut (tol laut) terus ditingkatkan. Hal tersebut dapat dilihat dari meningkatnya jumlah trayek, di mana pada tahun 2018 dan 2019 mencapai 18 trayek yang dilayani oleh 19 armada kapal,” kata Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Capt. Wisnu Handoko saat menjadi pembicara pada Focus Group Discussion (FGD) Tol Laut dengan tema Melanjutkan Konektivitas, Membuka Jalur Logistik dan Menekan Disparitas Harga, di Hotel Garden Palace Surabaya, Kamis (17/1).
Seperti diketahui bahwa Tol Laut merupakan salah satu program utama Pemerintahan Kabinet Kerja. Dengan tol laut diharapkan dapat memperlancar dan mengefisienkan angkutan barang melalui jalur laut. Adanya tol laut pada prinsipnya bahwa pelayaran akan secara rutin dan terjadwal dari barat sampai ke timur Indonesia dapat memperkuat jalur pelayaran dan logistik.
Menurut Capt. Wisnu, dari total 18 trayek pada tahun 2019, sebanyak 5 (lima) trayek diopersikan oleh PT. Pelni, 2 (dua) trayek dioperasikan oleh PT. ASDP, dan 4 (empat) trayek, oleh Djakarta Lloyd melalui penugasan. Sedangkan 7 (tujuh) trayek lainnya dioperasikan oleh perusahan pelayaran swasta melaui mekanisme pelelangan umum.
Kapal-kapal yang melayari rute tol laut tersebut akan menyinggahi 4 (empat) pelabuhan pangkal, 6 (enam) pelabuhan transshipment dan 66 pelabuhan singgah.
“Namun pada tahun ini, anggaran subsidi angkutan tol laut mengalami penurunan sekitar 50 %, dari sebelumnya tahun 2018 sebesar Rp 447,6 miliar menjadi Rp 222 miliar, pada tahun 2019,” ungkap Wisnu.
Capt. Wisnu juga menceritakan berbagai kendala yang dihadapi dalam penyelenggaraan tol laut selama ini. “Kami menyadari bahwa masih terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaan program tol laut. Di antaranya, pelayanan kapal tol laut belum sepenuhnya menjangkau daerah T3P (Terdepan, Tertinggal, Terluar dan Perbatasan),”ujarnya.
Selain itu, masih minimnya fasilitas bongkar muat di beberapa pelabuhan singgah serta belum optimalnya pemanfaatan Teknologi Informasi dalam tata kelola operasional tol laut.
Untuk itu, ke depan Pemerintah bersama pihak terkait berkomitmen untuk meningkatkan pelayanan kapal dan barang yang profesional dan transparan melalui digitalisasi sistem pelayanan pelabuhan,” kata Wisnu lagi.
Hal penting lain yang harus dilakukan yakni dengan meningkatkan ketersediaan fasilitas dan peralatan dalam mendukung pelayanan serta mengoptimalkan pelabuhan sebagai lokasi transhipment petikemas, baik domestik maupun internasional.
Selain itu, kendala yang juga masih dihadapi yakni kurang optimalnya muatan balik, dan itu harus dicari solusinya.
Dari data realisasi muatan berangkat tahun 2018 tercatat mengalami peningkatan menjadi sebesar 229.565 ton dengan total 239 voyage. Sedangkan untuk realisasi muatan balik tercatat sebesar 5.502 ton sehingga harus terus ditingkatkan.
“Untuk mengoptimalkan muatan balik tersebut berbagai upaya kami lakukan. Salah satunya dengan meningkatkan sinergi antara Kementerian Perhubungan dengan Kementerian Perdagangan, Kementerian BUMN dan Pemerintah Daerah, melalui program “Rumah Kita” atau sentra logistik,” ucapnya.
Dia juga menjelaskan bahwa sentra logistik ini bekerjasama dengan BUMD & BUMDES untuk melakukan sosialisasi program tol laut kepada masyarakat dan pedagang di pelabuhan singgah untuk mengisi muatan balik.
“Program tol laut ini tak akan berjalan dengan baik tanpa adanya dukungan dan sinergi dari seluruh pemangku kepentingan terkait, termasuk dari Pemerintah Daerah dan badan usaha di daerah setempat untuk bersama-sama mensukseskan program tol laut ini,” tuturnya.
FGD ini merupakan rangkaian awal kegiatan Seminar Nasional Tol Laut yang diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional (HPN) 2019 yang jatuh pada tanggal 9 Januari 2019. Adapun dalam Seminar ini menghadirkan berbagai pemangku kepentingan untuk duduk bersama bagaimana mengefektifkan dan mengefisienkan program tol laut ini sehingga memiliki daya dongkrak positif terhadap lalu lintas arus barang di Nusantara.
Biaya Lebih Efisien 50%
Sementara itu, secara umum perbandingan biaya angkut menggunakan kapal tol laut jauh lebih efisien dan mampu mengurangi biaya angkut mencapai 50 % dari biaya angkut kapal komersial. Hal tersebut karena adanya subsidi atau Publik Service Obligation (PSO) dari Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan untuk angkutan barang di laut melalui program tol laut.
“Namun Pemerintah menyadari bahwa masih banyak masyarakat yang menyamaratakan antara angkutan laut komersial dengan angkutan barang bersubsidi atau tol laut. Padahal terdapat perbandingan biaya angkut yang cukup signifikan di antara keduanya,” kata Capt. Wisnu.
Misalnya saja perbandingan biaya angkut barang di laut dari Surabaya ke Merauke. Jika menggunakan kapal komersial biaya yang dikeluarkan bisa mencapai Rp 10-11 juta, namun jika menggunakan kapal tol laut menjadi Rp 6 juta.
“Begitu juga dengan biaya angkut ke daerah lain, seperti dari Surabaya ke Manokwari jika dengan kapal swasta biaya yang dikeluarkan antara Rp 11-13 juta, sedangkan dengan kapal tol laut biaya jauh lebih murah sekitar Rp 5,3 juta,” ungkapnya.
Dia juga menyebutkan, tingginya biaya logistik di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh uang tambang atau ongkos angkut (freight), namun terdapat beberapa komponen biaya logistik yang masih tinggi di pelabuhan, seperti biaya bongkar muat pergudangan, pengurusan dan biaya tambahan lain seperti jaminan kontainer ataupun equipment charge yang belum bisa terstandarisasi.
Untuk itu, Pemerintah akan terus berkonsolidasi mencari solusi bersama dalam menekan biaya logistik di pelabuhan. “Kementerian Perhubungan bersama Badan Usaha Pelabuhan dan asosiasi terus melakukan koordinasi untuk mencari solusi dalam menekan biaya-biaya di pelabuhan yang tidak wajar agar sesuai dengan layanan yang diberikan,” kata Wisnu. (***)