Dua tahun sudah Tol Laut atau konektivitas laut yang efektif berupa adanya kapal secara rutin dan terjadwal melayari dari Barat sampai ke Timur Indonesia.12 trayek tol laut pun telah digulirkan oleh Kementerian Perhubungan, meskipun ada sejumlah trayek yang mesti dilakukan tender ulang.
Tadinya, pemerintah berharap dengan program tol laut ini, disparitas harga antara wilayah Indonesia barat, tengah dan timur tak terjadi perbedaan harga yang mencolok, alias beda tipis. Namun, kenyataan dilapangan disparitas itu masih sangat terlihat. Sebagai contoh untuk komoditi semen per zak, di wilayah pulau Jawa berkisar Rp 65.000, tapi di Raja Ampat antara Rp 95.000 – Rp 96.000, di Sorong mencapai Rp 90.000, dan di Fak-Fak seharga Rp 97.000, di Teluk Bintuni Rp 100.000, di Manokwari Rp 88.000.
Tetapi harga jual retail di pesisir Papua berkisar Rp 98.000 per zak (50 kg). Harga tersebut akan menjadi Rp 500.000 – Rp 800.000 per zak di daerah pedalaman, bahkan di Puncak Jaya bias mencapai Rp 2,5 juta per zak, sebab angkutannya mesti menggunakan pesawat.
Dan ini menjadi tantangan pemerintah untuk terus memperjuangkan supaya perbedaan harga itu tidak lagi terjadi. Menurut Tri Achmadi, Kepala Departemen Teknik Transprtasi Laut Fakultas Teknologi Kelautan Institute Teknologi Sepuluh Nopember, ada 8 pilar kebijakan tol laut yang jadi tantangan.

Pertama belum memadainya dukungan infrastruktur baik dari segi kualitas dan kuantitas, lalu belum terintegrasinya simpul transportasi dan interkoneksi pelabuhan dengan hinterland (belum efektifnya peranan multimoda).
Kedua, terbatasnya kemampuan daya saing industri maritime, dan belum meratanya persebaran industri maritime. “Kemudian keterbatasan kekuatan armada kapal nasional, serta kebutuhan kapal berukuran besar (akibat kondisi perairan) vs muatan dengan jumlah kecil,” kata Tri Achmadi.
Keempat, lemahnya jaringan/rute laut nasional, belum adanya fokus komoditas, dan belum optimalnya rute pelayaran (alur pelayaran dangkal dan sempit), serta penyelenggaraan rute Tol Laut yang bersinggungan dengan rute pelayaran eksisting
Kelima, masih rendahnya kompetensi SDM dan Manajemen, dan minimnya Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Bidang Logistik dan Transportasi Laut.
Keenam, belum tersedianya jaringan Teknologi Informasi dan Komunikasi yang handal, serta penggunaan sebagaian besar sistem manual “paper based system” dalam transaksi logistik. “Regulasi dan kebijakan masih bersifat parsial dan sektoral. Dan terakhir rendahnya Koordinasi Lintas Sektoral, juga belum ada kelembagaan yang menjadi integrator kegiatan Tol Laut,” jelas Tri Achmadi. Inilah kemungkinan yang masih menjadi ‘PR’ bagi pemerintah.
Namun, kita perlu apresiasi terhadap langkah pemerintah karena adanya tol laut untuk harga sejumlah kebutuhan pokok (sandang pangan) sudah tidak mengalami berbedaan yang jauh.
Dalam kasus harga semen, ada solusi yang ditawarkan dengan memastikan pengiriman semen menggunakan Tol Laut terkendali hingga end user, dengan menunjuk BUMN dan anak usaha-nya sebagai pelaku operasional. Atau memberi label khusus di kemasan semen yang menggunakan Tol laut.
Mempercepat penyelesaian proyek Trans Papua, Menambah gudang penyangga, meningkatkan fasilitas loading dan unloading di Pelabuhan dan menambah armada darat yang sesuai dengan kondisi geografis setempat.
Tak kalah penting adalah bagaimana mempercepat implementasi program ‘Rumah Kita’ sebagai sentra logistic pada daerah yang telah ditetapkan.
Mestinya jika mereferensi dari data yang ada, adanya Tol Laut, harga seharusnya sudah murah, mengingat dengan angkutan tol laut, tariff angkutnya sudah berkurang hingga 50%. Misalnya untuk trayek Surabaya-Merauke ongkos kapal swasta antara Rp 10-11 juta, untuk tol laut hanya Rp 6 juta.
Begitu pula dari Surabaya-Manokwari, menggunakan tol laut Rp 5,3 juta, dengan kapal swasta bias Rp 13 juta. Lalu Surabaya-Kaimana, dengan kapal swasta Rp 12 juta, kapal tol laut Cuma Rp 5,3 juta.
Ini menggambarkan bahwa dari sisi ongkos angkut, sudah terjadi penurunan drastic. Tapi, kenapa realisasi dilapangan harga barang masih tinggi. Kalau Menurut Menhub Budi Karya Sumadi, Tengkulaklah yang menikmati keuntungan dari program tol laut ini. Pertanyaannya bagaimana pemerintah bias mengatasi problem ini.
Ketua ALFI Manokwari Obed juga pernah mengungkapkan bahwa harga sejumlah komoditi sudah turun, tetapi itu daerah yang berdekatan dengan pelabuhan. “Namun daerah yang jauh dengan pelabuhan harga masih mahal, karena mesti dihitung dengan distribusi tambahan mengangkut barang tersebut ke suatu wilayah,” ujarnya.
Menhub menyadari bahwa kenyataan ini tak bisa hanya pemerintah sendirian yang atasi. Makanya Budi Karya menyatakan perlunya kerja sama antara pemerintah dengan asosiasi pengusaha dan BUMN. Menurutnya, ada tujuh lintasan tol laut yang membutuhkan waktu 15-30 hari untuk mencapai ke tempat-tempat itu. “Harus kerja sama dengan swasta, PELNI, INSA, dan asosiasi truk. Kami siap melakukan perubahan,” ucapnya.
Ironinya, sejumlah pelayaran besar domestic seperti Tempuran Emas, Tanto Intim Line, SPIL, Samudera Indonesia, justru tak masuk ferifikasi dalam tender tol laut. Padahal diantara mereka itu juga bermain di rute Indonesia Timur, bahkan pelayaran swasta itu tanpa disadari sudah melayani daerah-daerah yang tak terjangkau pemerintah. Bagaimana itu?. (***)