Pemerintah mentargetkan ekspor impor Indonesia yang diangkut menggunakan kapal bendera Merah Putih dapat mencapai 30% dalam waktu dekat. “Kami ingin memulai dari barang-barang project pemerintah, juga batubara,”kata Adolf Tambunan, Direktur Lalu Lintas Angkutan Laut Kementerian Perhubungan, kepada Pers, di Jakarta.
Namun, tegas dia, hal itu bergantung pada kementerian perdagangan yang mengatur tentang pola perdagangannya. Pihak kementerian perhubungan terus berupaya melakukan koordinasi dengan kementerian-kementerian terkait tentang ini. Jika semua itu dapat dilaksanakan, maka kebijakan beyond cabotage akan dapat terlaksana.
Adolf yakin beyond cabotage dapat dilakukan asalkan semua memiliki niatan sama untuk Indonesia. “Kita ingin Indonesia punya posisi tawar dalam hal beyond cabotage ini,” ungkap Adolf.
Sementara itu, INSA juga terus berusaha mendorong pemerintah untuk dapat segera melaksanakan beyond cabotage. “Kami (INSA-red) mendorong pemerintah segera dapat melaksanakan kebijakan beyond cabotage tersebut,” kata Carmelita Hartoto, Ketua umum DPP INSA.
Kebijakan ini, lanjutnya, dapat terlaksana, kuncinya ada pada pemerintah sendiri. “Kami sebagai penyedia jasa angkutan kapal hanya menyiapkan sarana prasarananya (kapalnya) saja,” ujar dia.
Di Makassar, Ketua DPC INSA Hamka menilai, infrastruktur pelabuhan dengan standar pelayanan Service Level Agreement dan Guarantee (SLA/SLG) hanya menguntungkan pelaku pelayaran asing.
“Muatan ekspor yang selama ini diangkut kapal merah putih, khususnya pelayaran Meratus, Temas dan Tanto. Saat ini, volumenya habis diambil alih SITC dengan bendera asing,” kata Ketua DPC INSA Makassar, Hamka.
Akibatnya, sejumlah kapal-kapal berbendera Indonesia itu terus mengalami penurunan volume signifikan termasuk pelayaran internasional atau direct call ke Timor Leste.
“Misi Beyond Cabotage yang menjadi road map pelayaran nasional kita hanya wacana. Isu krusial dari fakta ini, Direct Call tetap memakai bendera asing. Kapal bendera merah putih hanya pelengkap,” keluhnya.
Kondisi ini bukan hanya mempengaruhi industri pelayaran nasional, namun pedagang, eksportir hingga pelaku jasa logistik juga kena dampak dominasi kapal asing ini.
“Eksportir yang selama ini enjoy menggunakan kapal lokal sampai jakarta lalu dari jakarta langsung keluar, terpaksa gigit jari dengan pembukaan Direct Call ini,” ujarnya.
Dia mengingatkan pemerintah melalui Pelindo agar tampil sebagai mediator dan menginisiasi terkonsolidasinya muatan yang cukup buat pelayaran nasional.
Fungsi sosial yang melekat pada Pelindo, lanjutnya harus diterjemahkan menjadi sebuah aksi nyata dengan mendorong para pemilik cargo untuk bisa menggunakan kapal dengan berbagai ragam volume muatan.
“Fasilitas yang lengkap tak ada artinya, jika tidak ada kapal yang berkunjung. Situasi ekonomi global yang berdampak pada turunnya volume cargo harusnya memacu semua pihak termasuk Pelindo untuk berani keluar dari sekedar penyedia fasilitas menjadi inisiatif cargo,” tegasnya.
Apalagi, dia menilai Pelindo telah memiliki sumber daya manusia yang yang cukup untuk menggerakkan perekonomian di setiap wilayah. “Sekarang pertanyaannya apakah Pelindo memiliki komitmen kuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan dengan mematikan egoisme target yang semata-mata mengejar volume produksi,” ucapnya.
Dia mengingatkan, pendapatan besar Pelindo datang dari pelayanan kapal. Jika tidak ada kapal yang berkunjung maka dipastikan perusahaan negara itu akan kehilangan banyak pendapatan tahun ini
“Dari pada sibuk ngurus direct call yang tidak jelas juntrungannya, mending fokus pada peningkatan produksi dan mendorong pertumbuhan ekonomi didaerah. Termasuk menginisiasi shippers dan shipping lines dalam bingkai bisnis yang saling menguntungkan,” ungkapnya. (ow)