Pelabuhan Tanjung Priok tetap yang terbesar di Indonesia, tersibuk dibandingkan pelabuhan yang lain di tanah air, dan terbanyak masalah dibandingkan yang lain. Tanjung Priok memang butuh sentuhan-sentuhan untuk dapat mengangkat citra Indonesia dimata dunia.
Karena itu, perbaikan layanan di pelabuhan Tanjung Priok terus dilakukan pengelolanya. Infrastruktur (fasilitas) maupun sistemnya diperbaiki. Sebagai contoh sekarang ini Pelindo II sudah mulai menata pengelolaan pelabuhan sesuai fungsinya. Misalnya urusan kegiatan non petikemas, khusus di kelola PT PTP, lalu untuk kegiatan kendaraan, ditangani PT IKT. Dan untuk container ditangani PT IPC TPK.
Sistem layanan pun digenjot beralih dari manual ke teknologi. Sudah hampir dua tahun ini, Tanjung Priok sudah menggunakan inaportnet system (layanan warta kapal) yang kemudian dilanjutkan dengan inaportnet versi 2.0 untuk barang. Bukan itu saja, untuk percepatan lalu lintas kapal dan barang, sejak Juli lalu diluncurkan pula system DO Online.
Tentunya, Pelindo II dan operator terminal di Priok (JICT, TPK Koja, MAL, NPCT1, dan IPC TPK) pasti berusaha menjawab kemarahan dan kekhuwatiran Jokowi, dengan melakukan berbagai perbaikan sistem, infrastruktur dan layanan.
Dari sisi bea cukai, institusi dibawah kementerian keuangan RI ini pun terus berupaya memperbaiki system layanannya. Pada Maret 2018, Presiden Jokowi meluncurkan perizinan kepabeanan secara Online, sejalan dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 29/PMK.04/2018 tentang Percepatan Perizinan Kepabeanan dan Cukai dalam Rangka Kemudahan Berusaha.
Upaya reformasi di sektor kepabeanan menurut Bank Dunia memberi catatan indikator kepabeanan Indonesia dengan nilai terendah 2,67 poin. Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-62 dalam indeks kinerja logistic di tahun 2018.
Yang pasti, semua institusi terkait yang ada di pelabuhan Priok (Pelindo II, para pengelola terminal petikemas, instansi pemerintah, dan swasta) berusaha keras untuk menyajikan layanan prima kepada para pengguna jasanya.
Apakah perbaikan service itu semata untuk menangkal ancaman Presiden Joko Widodo (Jokowi) sewaktu meresmikan Terminal Kalibaru I (NPCT1) pada September 2016 lalu yang menyatakan akan mengobrak-abrik Tanjung Priok jika pelayanannya masih lamban.
“Mau bersaing bagaimana kalau 7-8 hari. Ada 8 crane kok hanya satu yang beroperasi, apa ini ada tawar-menawar untuk pungli. Saya pastikan saya obrak-abrik,” kata Presiden Jokowi waktu itu.
Waktu itu, Jokowi memang menyentil dwelling time bukan hanya Priok, tapi juga Belawan dan Tanjung Perak. Jokowi marah karena dwelling time di Pelabuhan Belawan dan Tanjung Perak, cukup lama sekitar 7-8 hari. Sedangkan di Tanjung Priok baru mencapai 5,6 hari, jauh di bawah target 4,7 hari.
Alhasil, karena sentilan presiden tersebut, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pun dibuat sibuk untuk menurunkan dwelling time. Berbagai kebijakan dikeluarkan. Bukan Menhub saja yang waktu itu konsen membenahi dwelling time, semua stakeholder yang ada di pelabuhan pun ikutan latah membicarakan dwelling time.
Padahal, kalau berkaca pada pelabuhan-pelabuhan internasional di Negara luar, dwelling time tak begitu dipersoalkannya. Pertanyaannya kenapa pemerintah terkesan hanya menyoal di dalam pelabuhan saja, bagaimana dengan barang setelah keluar pelabuhan. Kalau pemerintah (Presiden Jokowi) selalu minta agar cost logistic bisa turun, mestinya pemerintah juga mesti total melihat masalahnya, mulai dari pengapalan sampai barang itu sampai tujuan.
Sekretaris Asosiasi Logistik Forwarder Indonesia (ALFI) Jakarta Adil Karim menyorot jika proses penjaluran keluar barang di bea cukai menjadi salah satu penyebabnya. Adil memisalkan, untuk jalur kuning, proses di bea cukai sampai memakan waktu antara 2-3 hari dan untuk jalur merah mencapai 4-5 hari.
Kini setelah dua tahun ancaman Presiden Jokowi tersebut, Pelindo sebagai pengelola pelabuhan di Indonesia mengklaim bahwa dwelling time sudah bagus sesuai yang ditargetkan pemerintah. Artinya, capaian dwelling time sudah lebih baik dibandingkan dua tahun lalu.
Barangkali Presiden Jokowi khawatir jika dwelling time tinggi, ongkos logistic jadi mahal, akibatnya daya saing Indonesia dengan Negara-negara luar (ASEAN) tak dapat dilakukan. Seperti diketahui bahwa Bank Dunia menyebutkan, saat itu ongkos logistik Indonesia mencapai 25 persen dari total penjualan sektor manufaktur, sementara Thailand hanya 15 persen, dan Malaysia 13 persen.
Kekhawatiran Jokowi ditampik Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang mengklaim realisasi waktu penyelesaian proses kepabeanan rata-rata mencapai 0,87 hari atau lebih cepat dari target selama satu hari.
Paling cepat di Pelabuhan Tanjung Priok 0,79 hari. Di Tanjung Emas mencapai 1,94 hari, masih lebih lambat dari target yang ditetapkan selama 1,4 hari, di Pelabuhan Belawan justru lebih cepat dari target. Catatan DJBC juga menyebutkan capaian dwelling time 2017 masih di bawah target yaitu 3 hari dari target dwelling time nasional 2,5 hari.
Efisiensi bea cukai dan pengelolaan perbatasan menjadi salah satu dari enam indikator penilaian analisa LPI yang dilakukan oleh World Bank. Indikator lainnya adalah berupa kualitas perdagangan dan infrastruktur terkait transportasi, kemudahan mengatur pengiriman internasional yang kompetitif, kompetensi dan kualitas layanan logistik, kemampuan mencari jalur dan melacak kiriman, serta frekuensi pengiriman yang tepat waktu.
Indonesia mengantongi skor tertinggi dalam indikator ketepatan waktu dengan nilai 3,67 poin dan berada di urutan ke-41 dari 160 negara yang disurvei. Sedangkan indikator infrastruktur, mendapat skor 2,89 poin dan berada di posisi ke-54. Secara keseluruhan, kinerja logistik Indonesia dalam LPI kali ini naik 17 tingkat ke posisi ke-46 dengan skor 3,15 di 2018. Dua tahun lalu, Indonesia menempati posisi 63 dengan skor 2,98 di dari 160 negara yang disurvei dalam indeks tersebut.
LPI adalah indeks kinerja logistik dunia yang dirilis oleh Bank Dunia setiap dua tahun sejak 2012. Indeks ini mengukur kinerja pada logistik perdagangan dalam suatu negara. Semakin kecil angka yang didapat sebagai peringkat, maka semakin bagus kinerja logistik negara tersebut.
Secara keseluruhan, peringkat Indonesia memang meningkat. Namun, peringkat LPI Indonesia di antara negara-negara ASEAN justru masih tertinggal. Saat ini, di antara negara-negara ASEAN, Singapura memimpin di posisi ke-7 dunia. Diikuti selanjutnya oleh Thailand di peringkat ke-32, Vietnam di urutan ke-39, Malaysia di posisi ke-41. Indonesia yang berada di peringkat 46, hanya unggul dengan Filipina di urutan ke-60, Brunei Darussalam di posisi ke-80, Laos ke-82, Kamboja ke-98, dan Myanmar di posisi ke-137.
“Peringkat LPI yang naik drastis adalah Laos diikuti Thailand yang bahkan sekarang posisinya mengalahkan Malaysia. Peringkat Vietnam melampaui Malaysia maupun Indonesia. Ini artinya, meski meningkat namun peringkat Indonesia di antara negara-negara ASEAN justru menurun,” kata Setijadi, Chairman dari lembaga independen Supply Chain Indonesia, saat konferensi pers beberapa waktu lalu.
Kedepan, dengan akan dibangunnya pelabuhan Patimban di Subang, apakah Tanjung Priok tidak berusaha mengubah service dan system yang ada. Mestinya, sebagai pelabuhan yang telah lebih dulu eksis, harus dapat meyakinkan para pengguna jasanya, bahwa Priok tetap lebih segalanya dibandingkan pelabuhan-pelabuhan lain di Indonesia, termasuk Patimban. Tantangan itulah yang harus dibuktikan, dan itu sebagai jawaban untuk Presiden Jokowi dan para stakeolders di Tanjung Priok. (trt/ow/***)