Dua tahun empat bulan Presiden Joko Widodo – Jusuf Kalla sudah memimpin Republik Indonesia. Kita masih ingat ketika pidato resmi pada awal pelantikan di gedung MPR, bahwa pemerintahan mengusung maritime sebagai kekuatan negeri ini.
“Kita tidak akan lagi memunggungi laut,” kata Presiden Jokowi kala itu. Justru karena itu, di era kepemimpinannya maritime menjadi primadona yang ingin dijadikan sebagai kekuatan Indonesia menjadi poros maritime dunia.
Dalam konteks nawa cita (Sembilan keinginan/harapan) yang salah satunya mengembalikan kejayaan maritime Nusantara, Presiden Jokowi telah mengeluarkan berbagai jurus untuk menuju cita-citanya. Misalnya program Tol Laut.
Program yang dimaksudkan untuk menghilangkan disparitas cost logistic di Pulau Jawa dan wilayah lain di negeri ini pun hingga sekarang belum dapat berjalan sesuai harapan. Padahal untuk memuluskan program yang satu ini, pemerintah telah mengeluarkan ratusan miliar subsidi kepada kapal-kapal yang melintasi rute-rute daerah yang ditunjuk oleh pemerintah.
Kita tahu bahwa Tol laut dipersiapkan sebagai pondasi ekonomi pembangunan Indonesia. Program ini diharapkan dapat memberikan efek kelancaran distribusi barang yang nantinya mampu memberikan sumbangan pendapatan kepada negara berupa pertumbuhan sector industry di daerah, penerimaan pajak dan kesempatan kerja.
Presiden Jokowi dinilai cakap dalam melihat peluang, dengan menjadikan maritim sebagai arah pembangunan utama. Sayangnya, para pembantunya mungkin mengimplementasikannya yang dianggap kurang optimal dan kebingungan.
Selama dua tahun perjalanan visi maritime Tol laut dapat kita lihat dan kita nilai, apakah program tersebut sudah dapat dibilang berhasil atau belum. Sudah dua menteri selama dua tahun mencoba untuk mewujudkan program ini yakni mantan Menhub Ignasius Jonan, dan sekarang Menhub Budi Karya Sumadi yang meneruskannya.
Tentu saja belumlah fair bagi kita untuk menyimpulkannya, namun patut dijadikan sebagai bahan evaluasi apa saja yang masih dibutuhkan untuk memaksimalkan peranan Tol Laut di kehidupan masyarakat Indonesia.
Jika kita dengar klaim Menko Maritim Luhut Panjaitan dan Menhub Budi Karya Sumadi bahwa dengan Tol Laut harga barang di Indonesia timur sudah turun, benarkah demikian. Karena ternyata, informasi dari Koordinator ALFI Papua dan Maluku Moh. Coya, harga barang belumlah turun signifikan. Kalau barang yang dekat dengan pelabuhan memang menurut Coya sudah nggak jauh beda dengan di Pulau Jawa, dan dari dulu memang begitu. Tapi yang dipedalaman masih sama saja, mahal. Padahal para pengusaha angkutan laut juga menurunkan ongkos hingga 30%, tetapi harga tak juga turun.
Konsep Tol Laut memang belum bisa dikategorikan sebagai solusi untuk menekan biaya logistic nasional jika masih menggunakan dana subsidi atau lainnya. Apabila pendistribusian logistik ditunjang oleh dana subsidi, dampaknya hanya mengurangi biaya operasional logistik yang ada sekarang dan tidak menggeser totalitas biaya Logistik menjadi turun. Oleh sebab itu pemanfaatan klaster pelabuhan menurut potensi daerah belakangnya (hinterland) harus mulai segera direalisasikan.
Pemerintah haruslah tegas dan membuat konsep perencanaan matang untuk investasi industry di luar pulau Jawa. Tapi, mudahkan untuk mewujudkan ini?.
Desain rute tol laut yang sedang berjalan juga dianggap masih belum optimal dalam melayani daerah yang di lewati kapal-kapal yang ditunjuk untuk itu. Sebab, belum seimbangnya arus muatan terutama dari kawasan timur Indonesia ke kawasan barat Indonesia. Tercatat ada enam rute yang melayani trayek tol laut yang dengan subsidi, bahkan kabarnya akan ditambah menjadi 13 rute tol laut. Sayangnya enam rute yang sudah berjalan itu hanya menempatkan Jakarta dan Surabaya sebagai Home base dari kapal-kapal tersebut. Rute tol laut semestinya menjawab keberadaan pelabuhan yang telah ditetapkan sebagai pelabuhan strategis dalam mendukung tol laut yang tercantum dalam RPJMN 2015-2019. Untuk itu kajian maupun pelaksanaan rute Tol Laut tidak bisa parsial.
Pemerintah dianggap berhasil mengambil peran yang bersifat multidimensional dalam memformulasikan kebijakan-kebijakan kementerian teknis penyelenggara Tol Laut dengan RPJMN 2015-2019. Tentu ini akan menjadikan pembangunan pelabuhan nasional terintegrasi di lintas kementerian terkait, mengingat penyelenggaraan kepelabuhanan nasional harus dikaitkan dengan kawasan industri atau klaster industri tiap-tiap daerah.
Namun dalam perjalanannya pelabuhan nasional masih belum pada performa maksimalnya ini bisa diukur dengan belum berperannya pelabuhan memberikan efek ganda ekonomi atas penyelenggaraannya kemudian posisi pelabuhan Nasional masih berperan sebagai pelabuhan pengumpan negara tetangga ini dapat dilihat dari 90% dari 543,3 Juta Ton dan sekitar 9 juta Teus melakukan transhipment di pelabuhan Singapura. Karena itu, pemerintah terus mendorong menjadikan Tanjung Priok sebagai hub Transshipment domestic. Konon, dengan eskpor lewat Priok dapat lebih murah Rp 1,5 juta dibandingkan transshipment di Singapura.
Sungguh memprihatinkan kalau melihat potensi barang Indonesia sedemikian besarnya, kapal pengangkutnya masih didominasi asing. Cabotage hanya berhasil diterapkan di dalam negeri, namun seharusnya pemerintah sudah mulai memikirkan bagaimana beyond cabotage.
Sehingga total armada kapal nasional yang tercatat sekitar 14.000 tidak hanya sanggup bermain di rumah sendiri. Kalau pada era hingga 90-an kapal-kapal Djakarta Lloyd masih berkibar di menca Negara, itu mestinya yang dikembalikan kedikdayaannya. Pemerintah harus mampu mendorong untuk itu melalui regulasi.
Kebijakan Tol Laut ini diharapkan dapat memberikan efek ganda ekonomi (multifeler effect economi) kepada masyarakat, maka kerja-kerja teknis tersebut harus dibarengi dengan produksi-produksi peraturan yang mampu menjaga stabilitas pembangunannya kedepan.
Semangat pembangunan di sektor maritime ini harus tetap dijaga dengan terlaksannya Tol laut sebagai pelaksana hilir ekonomi nasional, juga harus di topang dengan pembangunan industialisasi (sektor hulu) agar konektiitasnya yang terbangun bisa mengjangkau konektitas hulu dan hilir ekonomi nasional.
Bukan itu saja, program Tol laut sebagai salah satu upaya mengembalikan Indonesia sebagai tuan rumah kemaritiman, memang mesti ditindak-lanjuti ke luar jika ingin mewujudkan cita-cita membuat Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Bagaimana merealisasikannya, menjadi tanggung jawab kita semua. (oceanweek)