Baru-baru ini, Komisi V DPR mengundang INSA, APBMI, Akademisi, dan sejumlah tokoh pengamat kemaritiman, untuk dimintai masukannya terkait rencana revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Salah satu hal penting yang menjadi catatan yakni pembicaraan mengenai Coast Guard yang dipaparkan oleh Staf Ahli Intelijen Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Laksamana Muda (Laksda) Purn. Soleman B Ponto.
Dia khawatir, regulasi (pasal-pasal dalam UU Pelayaran) terkait yang mengatur aspek pelayaran yang selama ini mengacu pada International Maritime Organisation (IMO) dipindahkan ke Undang-Undang 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
Soleman menyampaikan, Undang-Undang 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran ini mengatur empat aspek, yakni angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, perlindungan lingkungan maritim.
Khusus aspek ini keselamatan dan keamanan ini diatur tentang Biro Klasifikasi, Sea and Coast Guard atau Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP), dan kenavigasian, IMO.
Di negeri ini, ujar Soleman, ada Bakamla, KPLP (keduanya diklaim sebagai Coast Guard) dan ada pula keamanan dari institusi lain yang dinaungi UU masing-masing.
“Ini terkadang membuat orang-orang asing itu bingung. Di mana yang benar, ini dua-duanya Sea and Coast Guard dan Badan Keamanan Laut (Bakamla). Ini yang kita harus selesaikan, biar tidak mencoreng nama Indonesia di dunia internasional,” kata Soleman berapi-api.
Masalahnya, tegas mantan Kepala Badan Inteligen Strategis (Kabais), saat ini di DPR, selain merevisi UU 17/2008 tentang Pelayaran, juga sedang melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan.
Dalam revisi ini justru menyasar Undang-Undang Pelayaran di mana sejumlah regulasi mulai dari Pasal 1, 59, 276, sampai 281 dan 283 hingga ke bawah itu mau dicabut, berikut peraturan pelaksanannya di bawah.
“Jadi Undang-Undang 32 mau mencabut pasal-pasal yang ada di Undang-Undang Pelayaran. Setelah dicabut, itu dipindahkan tugas dan fungsinya. Judulnya menjaga laut dan pantai, tapi di dalam itu ada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), berdasarkan Undang-Undang ini, dialihkan,” katanya.
Dan kalau itu benar mau dipindahkan, maka yang menjadi kewenangan Kementerian Perhubungan (Kemenhub), bakal dialihkan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sehingga kewenangan KKP bertambah termasuk mengurus kapal niaga yang selama ini di bawah kendali Kemenhub.
“Akibat revisi Undang-Undang 32, terjadi ketidakpastian hukum. Kalau Undang-Undang 17 itu dicabut, maka penegakan hukum di laut kacau, dunia pelayaran runtuh, hanya gara-gara mencabut. Kelihatan di sini, dan Kemenhub tidak ada pekerjaan karena semua dipindahkan ke KKP. Kalau hal ini terjadi, runtuh Indonesia ini,” ungkapnya.
Soleman mengaku curiga niat merevisi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 dan Undang-Undang 32 Tahun 2004 ini jangan-jangan didorong oleh orang-orang yang cara berpikirnya sudah terkontaminasi dan tergalang oleh intelijen asing untuk menghancurkan pelayaran Indonesia.
“Karena tidak ada urgensi memindahkan itu. Kalaupun ada, itu memang sengaja untuk menghancurkan pelayaran Indonesia. Itu pandangan dari dunia intelijen,” katanya.
Padahal, tambah Soleman, tidak perlu merevisi UU itu, cukup membuat peraturan pemerintah (PP) yang merujuk pada UU 17 tahun 2008, selesai.
Sementara itu, Ketua Komisi V DPR RI Lasarus menegaskan, tidak ada sama sekali mencabut kewenangan di Undang-Undang Pelayaran untuk dipindahkan ke Undang-Undang Kelautan.
Bahkan Lasarus memastikan, revisi ini tidak menyentuh pengaturan tentang sea and coast guard di Undang-Undang Pelayaran ini.
“Sea Coast Guard tidak kita ubah. Kami juga koordinasi antar fraksi supaya Undang-Undang 32/2014 itu yang ingin mengambil atau men-down grade pasal-pasal di Undang-Undang 17, kita minta supaya dikembalikan sebagaimana mestinya. Jadi, kami merevisi ini tidak ada kaitannya dengan Undang-Undang 32, nggak ada,” tegasnya dihadapan INSA, APBMI, akademisi.
Lasarus menyampaikan, revisi Undang-Undang Pelayaran seluruhnya tentu saja mesti berpijak pada IMO. Bagaimana pun, Indonesia tidak dapat terpisah atau mengasingkan diri dari peraturan internasional.
“Apa yang Pak Soleman Ponto paparkan sangat memberi pencerahan bagi kami Komisi V DPR RI, untuk melakukan penguatan terhadap regulasi di Undang-Undang Pelayaran. Dan kami akan berkoordinasi dengan Pansus Undang-Undang Kelautan, bahkan jika perlu menghadirkan kembali Pak Soleman untuk memberikan keterangan terkait bahayanya revisi Undang-Undang 17 dan 32 ini,” jelasnya.
Menanggapi kekhawatiran mengenai itu, Lasarus mengungkapkan bahwa tak perlu khawatir karena masih ada kami. ”
“Jangan dikhawatirkan nasionalisme kami. Terkait dengan Indonesia, pijakan kita tentu Undang-Undang 17/2008 yang mengacu pada IMO,” ujarnya. (**)