Selama sepuluh hari Lebaran 1438 H (H-5 dan H+5) diperkirakan trucking mengalami loss sebesar Rp 170 milyar. “Kalau ada 17 ribu truk anggota kami (APTRINDO) tidak bisa operasi karena kebijakan pemerintah (Dirjen Darat) yang melarang truk beroperasi di jalan utama (tol) pada 5 hari jelang dan sesudah lebaran, pengusaha truk bisa rugi Rp 170 milyar,” kata Mustadjab Susilo Basuki, Ketua Asosiasi Pengusaha truk Indonesia (Aptrindo) DKI Jakartam kepada Ocean Week, di Jakarta, Kamis (22/6).
Kerugian sebesar itu selama sepuluh hari dengan rincian per hari loss Rp 1 juta per truk kali 17 ribu truk. “Mestinya pemerintah dapat memberikan solusi dengan membuka jalan rekayasa,” ujarnya.
Pengusaha truk, ujar Mustadjab, sekarang ini pada posisi dilematis. Dia yakin dengan berhentinya aktifitas trucking di Jakarta, dapat mengganggu pula perekonomian nasional.
Hal itupun dibenarkan Sekretaris Umum ALFI Jakarta, Adil Karim. Menurut Adil, dengan berhentinya aktivitas truk, dan dilarangnya truk beroperasi selama 5 hari lebaran, logistik juga menjadi berhenti.
“Kalau logistik berhenti, otomatis industri pun berhenti pula. Berapa cost loss yang diterima di usaha ini,” kata Adil.
Dia juga setuju mestinya pemerintah bukan memberhentikan operasional truk, namun membuat jalur rekayasa untuk truk-truk angkutan barang. “Dengan berhentinya operasional truk, berpengaruh pula terhadap dwelling time di pelabuhan,” ungkapnya.
Mustadjab maupun Adil sepakat, mestinya dirjen perhubungan darat bekerjasama dengan pihak kepolisian untuk mencari solusi terhadap operasional truk di masa lebaran. “Yang penting masih bisa operasional, namun tak mengganggu lalu lintas,” ucap keduanya.
Sementara itu, akibat kebijakan pelarangan operasional truk angkutan barang oleh pemerintah pada H-4 dan H+4, membuat truk-truk yang memuat barang ekspor melalui pelabuhan Panjang distop oleh petugas kepolisian, sehingga membuat kemacetan di jalan Soekarno Hatta 3 km.
“Karena itu, supaya pihak Kemenhub memberi pemahaman kepada pihak kepolisian. Jangan sampai kegiatan ekspor itu diperlakukan seperti itu (distop), karena jangan sampai hal itu menjadi isu internasional, karena barang ekspor itu terkait dengan kapal asing,” kata Ketua DPC INSA Lampung Yusirman. (***)