Forum Asosiasi di Pelabuhan Tanjung Perak minta agar surat edaran (SE) Dirjen Perhubungan Laut no. 30 tahun 2020 dibatalkan, karena pemberlakuan kebijakan itu dinilai dapat mematikan usaha depo lini 2.
Hal itu diungkapkan Ketua Forum Asosiasi Pelabuhan Tanjung Perak Hengki Pratoko, Ketua Asosiasi Depo Kontainer Indonesia (Asdeki) Jatim Agung Kresno, dan pengamat kepelabuhanan Lukman Lajoni, kepada Ocean Week, Selasa (8/9), dihubungi terpisah.
“Tolong SE Dirjen No 30 jangan diberlakukan untuk tahap 2, sebab kondisi di Tanjung Perak saag ini sangat memprihatinkan untuk pengusaha Lini 2. Bahkan sudah hampir sekarat. Jadi, jangan dibikin sekarat lagi,” kata Lukman serius.
Pengusaha di Tanjung Perak ini menyarankan supaya Dirjen Hubla (Agus Purnomo-red) mempertimbangkan untuk mencabut kebijakannya tersebut.
Jika kebijakan tersebut terkait dengan dwelling time, untuk kondisi dan situasi saat ini juga tak relevan lagi. Sebab, dengan SE Dirjen Hubla itu, penumpukan petikemas di lini I bisa 6 hari.
Lukman juga menyesalkan sikap Otoritas Pelabuhan (OP) Tanjung Perak yang mengiyakan diberlakukannya SE Dirjen Hubla tahap II tersebut.
“Saran saya lebih baik aturan Dwelling Time dicabut saja jadi sekalian mati dari pada sekarat semua usaha lini 2,” ujar Lukman.
Keluhan serupa pun dinyatakan Agung Kresno. Menurut dia, sebelum dikeluarkan SE no. 30/2020, Dirjen Hubla juga telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) No 37/2020.
Dengan alasan ada wabah covid 19, pemerintah (Hubla) kembali memberikan dispensasi terhadap masa penumpukan petikemas di lapangan penumpukan lini satu selama status keadaan darurat bencana korona ini.
“SE ini membuat pengusaha depo di lini 2 pelabuhan bangkrut. Kalau pemberlakuan SE Hubla yang pertama masih bisa ditoleransi, meskipun kami sudah kembang kempis, tapi untuk SE Hubla yang kedua ini, kami jadi sangat berat. Bisa-bisa banyak usaha lini 2 mati,” ungkap Agung.
Agung mengatakan bahwa kenapa ASDEKI minta SE tersebut supaya dicabut atau dibatalkan, sebab SE itu menyalahi Peraturan Menteri (Permen) Perhubungan no. 116 tentang menekan Dwelling Time di pelabuhan, masa penumpukan di terminal atau lini 1, maksimal 3 hari. Setelah waktu tersebut wajib dipindah ke lini 2.
Lukman maupun Agung mengaku heran, kenapa SE Dirjen Hubla bisa mengalahkan Permenhub. “Mestinya secara hierarki legalitas SE Dirjen Hubla lebih rendah dibandingkan Permenhub, tapi ini justru di Tanjung Perak kebalik-balik,” kata keduanya.
Menurut mereka, kerugian sudah dialami oleh sekitar 10 perusahaan lini 2.
“Kami sudah mengalami kerugian, malah sejak April 2020 terancam tutup,” ungkapnya.
Agung juga mengungkapkan, bahwa pada era new normal ini, pemerintah seharusnya lebih memberi kelonggaran kepada para pengusaha, bukan malah membuat kebijakan yang mematikan pengusaha.
Kata Agung, kebijakan Dirjen Hubla itu (SE Dirjen Hubla) hanya menguntungkan pihak terminal, sebaliknya pengusaha depo di lini 2 akan mati.
Padahal investasi usaha depo di lini 2 cukup besar. Ratusan juta untuk sewa lahan, belum lagi untuk operasional, per bulannya juga mencapai ratusan juta rupiah.
“Yang lebih memprihatinkan lagi, kalau kami tak sanggup lagi bayar gaji karyawan. Dan terpaksa mem-PHK ratusan karyawan, akibat pemberlakuan SE Dirjen Hubla itu. Apakah pemerintah tak memikirkan hal itu,” kata Agung.
Tadinya, kata Lukman dan Agung, dengan selesainya masa berlaku SE Dirjen Hubla yang pertama awal Agustus lalu, para pengusaha depo kontainer berharap akan kembali bangkit mengembangkan usahanya di era new normal.
Namun, harapan mereka hanya gigit jari. Mengingat Dirjen Hubla justru memperpanjang SE tersebut.
Oleh sebab itu, sekali lagi ASDEKI maupun Forum Asosiasi pelabuhan Tanjung Perak minta SE Hubla tersebut dicabut.
Sementara itu, Hengki menambahkan untuk tidak muncul kegaduhan di pelabuhan Tanjung Perak, sebaiknya pemerintah mencabut SE Dirjen Hubla itu. “Jangan sampai terjadi PHK besar-besaran disini, akibat kebijakan pemerintah yang tak populer itu,” kata Hengki.
Lukman juga meminta agar OP Tanjung Perak bersedia meminta Kemenhub (dirjen Hubla) mencabut kebijakan dirjen laut tersebut. “Kami ini sudah kembang kempis, jangan malah dibebani lagi dengan kebijakan yang merugikan pengusaha. Kami minta OP supaya memikirkan nasib para pengusaha swasta ini, agar PHK besar-besaran dapat dihindari,” tegasnya. (***)