Kalau operator terminal petikemas di Busan, lalu Tanjug Pelepas, dan PSA Singapura serta terminal yang lain sedang berupaya meningkatkan throughput-nya, di JICT justru sedang dilanda lesu kerja.
Tahun 2017 ini, Busan mentarget tembus ke 20 juta TEUs, sedangkan Tanjung Pelepas berharap mampu mencatatkan 10-15 juta TEUs, dan PSA Singapura diperkirakan menembus ke angka 35-40 juta TEUs.
Sementara di Tanjung Priok, kemungkinan untuk mencapai ke 7 juta TEUs di tahun 2017 rasanya sangatlah berat, mengingat belum kondusifnya kinerja di JICT karena aksi mogok kerja yang berbuntut belum membaiknya semangat kerja para pekerjanya. Sementara empat terminal lain (MAL, TPK Koja, NPCT1, dan Terminal 3 Tanjung Priok) kemungkinan hanya mampu menyumbang volume petikemas tak lebih dari 2 juta TEUs.
Kalau Busan pada paruh pertama tahun ini sudah menembus 10.167.000 TEUs, bagaimana dengan pelabuhan Tanjung Priok, karena pada semester I tahun ini masih mencatatkan sekitar 2 juta lebih.
Apakah ini yang memang diinginkan oleh para pekerja di operator terminal Tanjung Priok. Kalau ditanyakan kepada mereka, jawabannya pasti tidak, karena terminal petikemas di Priok sering masuk nominasi sebagai terminal terbaik Asia kategori penanganan 3 juta TEUs. Mestinya mereka iri dengan capaian yang diperoleh terminal petikemas di PSA, Tanjung Pelepas maupun Busan.
Tanjung Pelepas misalnya, jika dihitung secara waktu, jauh lebih muda dibandingkan Tanjung Priok (JICT), dan dari sisi kesejahteraan konon, JICT lebih unggul dibandingkan terminal di Malaysia itu. Tapi kenapa mereka lebih baik. Tahun 2015 saja, Tanjung Pelepas baru menangani sekitar 4,5 juta TEUs, sekarang sudah mencapai 9 juta TEUs.
Kenapa para terminal petikemas itu lebih besar menangani volume petikemas dibandingkan terminal Tanjug Priok. Transshipment di Busan diperkirakan melampaui 10 juta TEUs, sedangkan untuk Tanjung Priok, apakah mampu tembus diangka 3 juta TEUs khusus transshipment.
Tanjung Pelepas, sekarang juga sudah berpikir bagaimana kedalaman kolam dan alur pelayaran bisa mencapai 18,5 meter, sehingga mampu melayani kapal-kapal generasi terkini yang mencapai kapasitas 15.000 – 20.000 TEUs. Sedangkan di Priok, masih terus direncana untuk memperdalam hingga 18 meter.
Tanjung Priok, sudah merasa bangga dengan masuknya kapal CMA CGM berkapasitas 8.500 TEUs. Padahal, jika dibandingkan dengan kapal-kapal raksasa yang masuk ke pelabuhan lain, kapal kapasitas 8.500 TEUs itu belumlah besar.
PSA Singapore, sekarang sudah mulai memikirkan bagaimana dapat menangani throughput 65 juta per tahun. Konon, mereka sudah akan memindahkan pelabuhan kontainernya dari Pasir Panjang dan membangun pelabuhan Tuas.
Menurut tuisan berita Bernama Malaysia, pelabuhan Tuas akan mulai dibangun pertengahan tahun ini, dan selesai pada 2021.
Dengan melihat perbandingan tersebut, semestinya pemerintah dan pengelola terminal petikemas bekerja keras untuk dapat menyamai kinerja yang ditorehkan Tanjung Pelepas. Karena untuk mengejar ketertinggalan PSA Singapore, maupun pelabuhan Busan ibarat ‘andhong balapan dengan mercy’, sangat sulit mengejarnya. Jadi tidak seharusnya pemerintah selalu membandingkan Tanjung Priok dengan pelabuhan Singapura.
Meski begitu upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dan PT Pelindo melalui transshipment program perlu diapresiasi positif. Sebab, ketika PSA Singapura mengejar mimpi ke target 65 juta TEUs di tahun 2027, Tanjung Priok sudah sampai sejauh mana. Karena itu, bagaimana semua pihak menciptakan kondusif di Tanjung Priok, sehingga keiginan mengejar ketertinggalan dengan terminal Negara lain bisa diwujudkan. (***)