Paket Kebijakan Ekonomi ke-15 tentang pengembangan usaha dan daya saing penyedia jasa logistik dinilai akan menggairahkan bisnis galangan kapal di Tanah Air. Bahkan kebijakan itu, diharapkan dapat mengembalikan devisa negara yang lari atau hilang ke luar negeri antara tahun 2013 – 2016 sebesar Rp 50-80 triliun.
Dalam paket kebijakan ekonomi XV disebutkan bahwa pemerintah akan memberikan insentif 0 persen untuk bea masuk (BM) impor terhadap 115 jenis suku cadang dan komponen laut.
Kendati begitu, tidak serta merta industri galangan diuntungkan dengan keluarnya paket kebijakan tersebut. Buktinya, tidak sedikit perusahaan galangan di Batam yang sedang ‘sekarat’, apalagi Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) menetapkan upah minimum sektoral (UMS) Batam sebesar Rp 3.468.004, semakin menambah beban industri galangan kapal itu.
Beberapa waktu lalu, pemerinth sudah menyatakan menstop order pembangunan kapal baru ke galangan kapal domestik untuk kapal-kapal perintis maupun untuk tol laut. Ini dipastikan dapat mengurangi kinerja galangan, kalau masih ada paling hanya mengandalkan pekerjaan repair. Dan jika ada permintaan pembangunan kapal baru, jumlahnya juga tak banyak.
Ketua Umum Iperindo (Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Sarana Lepas Pantai Indonesia) Eddy Kurniawan Logam, Dirut Galangan PT Dumas Surabaya Yance Gunawan, dan Ketua Iperindo M. Azis merespon positif keluarnnya paket kebijakan ekonomi XV tersebut.
Kata Eddy Logam, ada poin-poin didalam kebijakan itu yang memang menjadi perjuangan Iperindo selama ini. “Selama ini, industri galangan domestik memang sulit berdaya saing karena komponen yang digunakan untuk membangun kapal harus diimpor dengan BM 5-12 persen. Sebaliknya, impor kapal utuh justru dikenai BM 0 persen. Dengan bebas BM maka pembangunan dan reparasi kapal di dalam negeri akan lebih kompetitif,” ungkap Eddy.
Sementara Azis menyatakan jika kebijakan itu dapat dilaksanakan, maka daya saing galangan kapal lokal dalam mendukung pengadaan dan perbaikan kapal terhadap galangan luar negeri akan lebih baik. “Tapi kami belum mengetahui bagaimana teknis pelaksanaannya, karena belum mencobanya. Kami baru bisa komentar, setelah kami melakukannya, sekarang kita lihat saja nanti,” ujarnya.
Sedangkan Yance hanya berharap yang penting paket kebijakn ekonomi ke-15 itu dapat menekan biaya logistik. “Yang jadi masalah itu adalah Lartas (Larangan dan pembatasan), pengurusannya ruwet dan mahal, misalnya seperti semua komponen atau material yang mengandung besi masuk lartas, padahal nggak diproduksi di lokal,” ucap Yance.
Iperindo mencatat bahwa dari sekitar 250 galangan kapal anggotanya, yang aktif hanya sebanyak 100 galangan. Hal itu karena lesunya industri pelayaran akibat kurang bergairahnnya industri tambang dan migas, termasuk anjloknya harga minyak dunia.

Dikhawatirkan, kondisi dan situasi ini berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) puluhan ribu karyawan. Padahal, keputusan tersebut sangatlah tidak diharapkan oleh semua pihak, baik pengusaha maupun para pegawai. Namun, apa daya, jika memang itu menjadi jalan keluar terbaik bagi industri galangan kapal.
Memang, menurut pengakuan Direktur Humas dan Promosi BP Batam, Purnomo Andiantono, dari data sistem di Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) BP Batam, tidak tercatat adanya perusahaan galangan kapal yang tutup.
Di Batam sendiri, ujar Andiantono, saat ini ada sekitar 100 perusahaan yang bergerak di bidang galangan kapal. Baik dari perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
Istilah Andiantono, sekarang ini perusahaan galangan kapal tidak tutup, melainkan tak beroperasi untuk sementara waktu akibat sepi order. Tetapi jika kondisi ekonomi mulai membaik, dan ada pesanan, perusahaan itu kembali beroperasional.
Eddy Logam menambahkan, agar paket kebijakan 15 tersebut optimal maka pemerintah harus mampu menciptakan permintaan yang berkesinambungan dengan membuat peta jalan (roadmap) kebutuhan kapal nasional.
“Dengan roadmap yang jelas maka order galangan kapal akan terjamin. Berdasar pengalaman, ketika galangan kapal berhenti karena sepi order, untuk membangkitkannya kembali dibutuhkan energi yang besar terutama dari sisi investasi,” jelasnya.
Menurut Eddy, kunci kehidupan industri galangan kapal adalah order. Makanya harus ada roadmap kebutuhan kapal untuk jangka panjang, paling tidak untuk 10 tahun ke depan, misalnya Kemenhub butuh 150 kapal, ini hendaknya order tersebut dilakukan setiap tahun, dengan cara ini swasta juga akan tergerak untuk order ke galangan domestik.
Akan tetapi ungkapan pesimistis sempat terlontar dari Yance Gunawan, bahwa pada tahun mendatang akibat distopnya order pembangunan pembuatan kapal baru oleh pemerintah, galangan kapal bakal kelimpungan, sebab pelayaran swasta mayoritas lebih memilih membeli kapal bekas dari luar negeri ketimbang membangun baru di galangan lokal.
Meski mewujudkan kembali Indonesia sebagai negara maritim menjadi cita-cita Presiden Joko Widodo dan semua stakeholders kemaritiman agar Indonesia menjadi kekuatan poros maritim dunia, mungkinkah harapan itu dapat terwujud, mengingat kondisi pereknomian dunia termasuk Indonesia yang belum bergairah.
Memang Poros maritim yang kuat membutuhkan industri pelayaran yang kuat pula, dan industri tersebut sangat butuh galangan kapal yang kuat juga. Dengan demikian, industri galangan kapal domestik tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan domestik tapi juga menjadi basis produksi pemenuhan kapal dunia. Tinggal bagaimana sekarang pemerintah, swasta, dan industri terkait menstimulasikan aturannya, sehingga semua sektor terkait itu dapat berjalan berdampingan, dan hidup bersama. (***)