Pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang berhubungan dengan kegiatan angkutan laut atau pelayaran, pelabuhan, atau layanan terkait lainnya telah diatur dalam PP No. 15/2016 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Perhubungan.
Namun, bagi operator pelayaran atau dunia usaha kemaritiman, berbagai item jasa PNBP dinilai menjadi beban, apalagi dengan kondisi menurunnya pangsa pasar maritim domestik yang tergerus akibat disrupsi permintaan termasuk suplai jasa kemaritiman nasional.
Karena itu, pelaku pelayaran swasta minta kepada pemerintah untuk memberikan insentif PNBP yang dinilai rasional dan sebaiknya penarikannya perlu ditinjau kembali baik dari jumlahnya, waktu pembayaran, serta proses pembayaran.
Kepada Ocean Week, Pakar kemaritiman dari ITS Surabaya Raja Oloan Saut Gurning mengatakan PNBP menjadi komponen yang dibayar operator kapal atau pelayaran kepada pemungutnya yaitu KSOP, Otoritas Pelabuhan (OP), Syahbandar, BUP atau mungkin kepada Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) dan Terminal Khusus (Tersus).
“Besarannya cukup dinamis dalam pelaksanaannya di lapangan. Banyak operator pelayaran yang sudah melakukan pembayaran PNBP dengan baik, tetapi banyak juga target PNBP yang tidak terpenuhi akibat persoalan terbatasnya instrumentasi pengawasan, kondisi pangsa pasar yang menurun sehingga realisasi besaran frekuensi kedatangan kapal dan kegiatannya tidak maksimal,” ujarnya, Senin pagi.
Menurut Saut Gurning, model pembayaran PNBP berdasarkan kontrak atau perjanjian. Hal itu dikarenakan berapa waktu dan besaran pembayarannya memang tergantung kepada realisasi, pengawasan dan kemampuan atau taksiran yang dilakukan petugas pemungut pemerintah atau penugasan dari kemenhub.
Tapi, faktanya, ungkapnya, target PNBP memang masih jauh dari target pemerintah.
Hal itu disebabkan akibat volume kegiatan yang menurun, sementara kewajiban biaya PNBP cenderung tetap.
Dengan demikian, instrumen PNBP memang akhirnya menjadi tidak rasional karena sudah tidak lagi berdasarkan jasa yang dilakukan atau kesepakatan atau target pelaksanaan jasa kemaritiman pelaku nasional.
Saut mengungkapkan, jika memungkinkan besaran PNBP dapat ditinjau kembali lewat pengurangan tarif hingga penghilangan PNBP. Bahkan mungkin dapat disesuaikan kembali apabila kondisi usaha industri kemaritiman sudah masuk dalam kategori normal.
Tak hanya itu masa pembayaran dapat juga disesuaikan. Misalnya, untuk kegiatan audit, penerbitan sertifikat, penilaian izin, pemeriksanaan dan sertifikasi keselamatan dan lainnya jikalau memunginkan pembayarannya dapat dilakukan sekali saja atau bahkan semua kegiatan dilakukan sekali dalam setahun, bukan berkali-kali dalam setahun.
“Usulan peninjauan PNBP memang perlu datang dari Kementerian Perhubungan kepada Kementerian Keuangan. Karena keputusan tarif dan proses pembayaran juga terkait dengan pengelolaan PNBP berada di Kemenkeu. Perlu ada peninjauan ulang target penerimaan PNBP usaha angkutan laut,” jelasnya.
Saut mengatakan, Kemenhub dan Kemenkeu perlu lebih realistis melakukan taksiran besaran itu untuk target penerimaan pada 2021 ini. Sebab alih-alih menaikan PNBP di sektor angkutan laut, perhatian besar adalah bagaimana menggairahkan atau menyelamatkan seluruh ekosistem angkutan laut nasional ini baik pelayaran, pelabuhan, pemilik barang, galangan kapal hingga operator logistik lewat laut.
“Jadi, menurut saya rasionalisasi besaran nilai, waktu dan proses pembayaran PNBP memang perlu ditinjau kembali. Perlu lebih adaptif, khususnya akibat disrupsi pandemik saat ini,” tuturnya. (***)