Pemerintah (Kemenhub) dipastikan akan memberlakukan kelayakan petikemas sesuai PM 53 tahun 2018 pada awal tahun 2019. Sekarang sedang sosialisasi peraturan mengenai kelaikan petikemas dan berat kotor petikemas terverifikaisi yang terbut pada Juni 2018 lalu.
Sejumlah pelayaran mempertanyakan kriteria petikemas yang dinilai layak dan tidak layak pakai itu seperti apa.
Ketika hal itu Ocean Week tanyakan kepada Saifuddin Wijaya, Direktur Pengembangan SDM PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), dikatakan bahwa petikemas yang layak pakai sesuai PM 53/2018 adalah yang memenuhi kriteria persyaratan Convention for Safe Container (CSC) yang diwujudkan dalam sertifikat CSC dan nameplatenya serta dimaintain sesuai persyaratan CSC.
“CSC merupakan produk aturan internasional yang dikeluarkan oleh International Maritime Organization (IMO) dan berlaku secara internasional,” katanya menjawab Ocean Week, Senin (1/10) siang.
Ditanya apakah BKI akan dan sudah memperoleh ijin dari Kemenhub sebagai lembaga sertifikasi, Saifuddin menyatakan, BKI belum mendapat ijin. “Katanya menunggu juknisnya (petunjuk teknisnya),” ungkapnya.
Seperti diketahui bahwa PM.53/2018 merupakan aturan tentang Kelaikan Peti Kemas dan Berat Kotor Peti Kemas Terverifikasi, terbit pada Juni 2018. Saat ini beleid itu masuk pada tahapan sosialiasi, sebelum diimplementasikan pada awal tahun depan. Kantor Otoritas Pelabuhan (OP) Tanjung Priok juga sudah melakukan sosialisasi peraturan ini pada beberapa waktu lalu, bertempat di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Waktu dilakukan sosialisasi, tidak sedikit dari para pengusaha pelayaran serta Ginsi yang mempertanyakan soal penilaian kelayakan dan tidaknya petikemas digunakan. Bahkan, Ginsi sempat mempersoalkan siapa yang harus menanggung cost, jika sampai muncul biaya.
Sementara itu, Ketua Bidang Kontainer DPP Indonesia National Shipowners Association (INSA) Teddy Arief Setiawan, kepada wartawan mengatakan, terkait sertifikasi petikemas juga perlu dipikirkan untuk implementasinya di lapangan karena kontainer bergerak terus dalam pemakaiannya dan jangan sampai mengganggu operasional yang berdampak terhadap arus logistik nasional.
“Yang perlu di sikapi untuk masalah ini adalah kriteria kontainer yang di anggap tidak layak pakai itu spt apa?. Kemudian jika kontainer yang sudah di sertifikasi ternyata rusak karena handling apakah masih di anggap layak?,” kata Teddy bertanya.
Baik Teddy maupun pihak Ginsi, sama-sama berharap agar saat peraturan tersebut diberlakukan, tidak akan mengganggu perekonomian nasional, karena jika ternyata petikemas yang beredar di Indonesia itu, diklaim banyak yang tak layak pakai. (***)