Pencabutan Modal Usaha angkutan laut dan keagenan kapal yang tertuang dalam Permenhub Nomor PM 24 Tahun 2017 tentang Pencabutan Persyaratan Kepemilikan Modal Badan Usaha di Bidang Pengusahaan Angkutan Laut, Keagenan Kapal, Pengusahaan Bongkar Muat dan Badan Usaha Pelabuhan dapat memicu persaingan tidak sehat di industri pelayaran.
Adanya Permenhub itu dibenarkan Dirut PT Samudera Indonesia Tangguh, Bani Mulia. Namun, Bani mengaku kurang setuju dengan Permenhub tersebut, karena modal usaha itu menjadi salah satu tolok ukur profesional tidaknya perusahaan.
“Jika tanpa modal usaha, kayak apa jadinya. Padahal, diindustri pelayaran dan kepelabuhanan, membutuhkan modal sangat besar. Ini juga menyangkut mengenai profesionalisme sebuah usaha,” kata Bani kepada Ocean Week, di Jakarta baru-baru ini.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum I Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) Witono Suprapto mengatakan, perlunya persyaratan kepemilikan modal usaha adalah agar perusahaan-perusahaan pelayaran bisa bersaing secara sehat dan menunjukkan bahwa perusahaan pelayaraan tersebut memiliki kredibilitas.
“Tujuannya adalah supaya tidak banyak perusahaan yang bersaing gontok-gontokan. Jadi bener-bener perusahaan yang sudah siap untuk terjun di bisnis itu,” kata Witono.
Witono mengungkapkan INSA sudah mengusulkan ke pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan agar modal dasar dibagi menjadi tiga kategori, yakni perusahaan skala besar, menengah, dan kecil. Hal ini dimaksudkan agar freight angkutan laut menjadi lebih kompetitif.
“Kalau dilepas begitu saja tanpa ada satu segmentasi banyak perusahaan bersaing satu sama lain,” ujarnya.
Witono menilai, pencabutan persyaratan kepemilikan modal dasar bertentangan dengan undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyebutkan harus ada modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor.
Menurut Witono, dicabutnya persyaratan kepemilikan modal akan mengacaukan sistem yang saat ini sudah berjalan. Dijelaskannya, dulu keagenan kapal berada dibawah perusahaan pelayaran yang memiliki Surat Izin Usaha Perusahaan Angkutan Laut (SIUPAL) sehingga apabila agen kapal melakukan wanprestasi, maka induk perusahaan pelayaran bisa menuntut agennya.
Witono mencontohkan, katakanlah ada perusahaan ‘kaki lima’ dipermudah untuk berinvestasi keagenan kapal. Kemudian perusahaan ini melakukan suatu wanprestasi, maka perusahaan pelayaran asing tidak bisa menuntuk perusahaan tersebut. Lalu, perusahaan pelayaran asing akan menuntut pemerintah yang mengeluarkan peraturan. Apakah pemerintah mau mengambil alih tanggung jawab itu?
“Bikin perusahaan harus ada kredibilitasnya. Jangan perusahaan abal-abal,” tegasnya.
Witono berharap peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah mampu menciptakan biaya logistik nasional rendah, efisien dan iklim usaha yang sehat bagi industri pelayaran nasional. (fjr/ow)