Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta harus berani menolak permohonan banding penggugat intervensi (Johnson Sutjipto-red), dalam perkara sengketa Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI no. AHU-0035091.AH.01.07 Th 2015 tanggal 30 Desember 2015 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan INSA, karena permohonan banding tersebut cacat secara formal yuridis.
Pihak dalam perkara ini adalah DPP INSA Carmelita Hartoto dan Budhi Halim selaku Penggugat melawan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia selaku Tergugat. “Kami minta agar PPTUN berani menolak pengajuan banding penggugat intervensi, sebab dalam ketentuan Undang-undang Pengadilan Tata Usaha Negara yang berhak mengajukan banding hanyalah Penggugat dan Tergugat. Tergugat dalam hal ini adalah pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat TUN) yaitu Kementerian Hukum dan HAM. Apalagi Kementerian Hukum dan HAM telah tidak menggunakan haknya untuk mengajukan banding dalam perkara ini. Artinya mereka sudah mengakui bahwa SK Pendirian Badan Hukum INSA atas nama Johnson yang diterbitkannya telah cacat yuridis sebagaimana pertimbangan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.” kata Alfin Sulaiman dari kantor Sulaiman & Herling Attorneys at Law , pengacara Carmelita Hartoto dan Budhi Halim kepada Ocean Week di Kantornya.
Selain itu, Alfin juga minta agar Kemenkumham melaksanakan keputusan majelis PTUN untuk penundaan pelaksanaan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM diatas sampai adanya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Alfin menyatakan bahwa pihaknya sudah berkirim surat ke Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkumham (DR. Freddy Harris-red) tertangal 13 September 2016, meminta kepada pihak Kemenkumham untuk mematuhi keputusan PTUN.
“Yang kami minta adalah agar Kemenkumham menghapus perkumpulan badan hukum INSA dalam sistem administrasi badan hukum, dan menerbikan surat penundaan tentang pelaksanaan surat Menkumham tertanggal 30 Desember 2015 itu,” ujar Alfin.
Alfin mengaku surat yang dikirimkan tersebut juga mengacu pada surat edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) no. 115/M/PAN/4/2003 tanggal 9 April 2003 dan surat edaran MenPAN no. SE/24/M.PAN/8/2004 tanggal 24 Agustus 2004 yang isinya memerintahkan kepada institusi pemerintah yang digugat agar melaksanakan putusan maupun penetapan PTUN. “Kami akan minta eksekusi terhadap putusan PTUN ini karena PTUN mempunyai kewenangan, dan terhadap pejabat yang menghalangi dapat diberikan sanksi,” ungkapnya.
Seperti diketahui bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) telah mengabulkan gugatan Carmelita Hartoto (Ketua Umum DPP INSA periode 2015 – 2019) dan Budhi Halim (Sekjen INSA) serta mencabut dan membatalkan SK Menteri Hukum dan HAM RI No. AHU 0035091.AH.01.07. Tahun 2015 tertanggal 30 Desember 2015, tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Indonesian National Shipowners Association.
Hakim PTUN yang di ketuai Rony Erry Saputro SH juga memerintahkan tergugat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia intervensi untuk menunda pelaksanaan SK tersebut sampai adanya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Kata Alfin, dalam pertimbangan putusan Majelis Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta waktu itu (23/8/16) Surat Keputusan Kemenkumham diterbitkan dengan mengandung cacat yuridis karena bertentangan dengan Permenkumham No. 6 Tahun 2014 tentang Pengesahan Badan Hukum Perkumpulan Pasal 13 ayat 3 huruf f yang mewajibkan pengesahan suatu perkumpulan Badan Hukum tidak boleh diterbitkan apabila sedang ada sengketa.
“Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa Kemenkumham menerbitkan surat keputusan tersebut tidak cermat serta mengandung unsur dwang dwaling bedrog (kekhilafan, paksaan sebagaimana pertimbangan putusan yang dibacakan oleh anggota majelis Tri Cahya Indra Permana,” ungkapnya.
Tergugat dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM, dianggap telah tidak cermat karena sebelum diterbitkannya SK, Penggugat dalam hal ini C.F Carmelita Hardikusumo pernah mengirimkan surat pemberitahuan pada tanggal 20 September 2015 perihal hasil Rapat Umum Anggota (RUA) INSA yang diselenggarakan di Hotel Kempinsky perihal belum terpilihnya Ketua Umum definitif DPP INSA.
Sekali lagi Alfin menegaskan, bahwa PTUN mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya , menolak eksepsi tergugat , Membatalkan Surat Keputusan Tata Usaha Negara, memerintahkan Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Tata Usaha Negara dan membebankan biaya perkara kepada Tergugat.
Majelis juga mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang diajukan oleh kuasa hukum Penggugat sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Dengan adanya keputusan PTUN, sekali lagi Alfin meminta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mematuhinya dan menghimbau kepada pihak-pihak lain untuk tidak menggunakan nama INSA atau mengatasnamakan Ketua Umum Perkumpulan INSA yang telah dibatalkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara. (ow)