Keprihatinan pelayaran di Tanjung Redeb Berau Kalimantan Timur mengenai Nota kesepahaman antara Kemenhub RI dengan Kepolisian RI no. HK 202/13/DJPL/2020, no. NK /21/2020 tentang Pelaksanaan Penegakan Hukum di bidang Pelayaran, karena dalam implementasinya dirasakan merugikan pelayaran, dibantah pihak KUPP Tanjung Redeb.
KUPP Tanjung Redeb tak ada urusan dengan penerbitan SPB harus melapor terlebih dulu ke kepolisian.
“Dalam penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (SPB), di Kantor UPP Kelas II Tanjung Redeb adalah berpedoman kepada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.82 tahun 2014 tentang tata cara penerbitan SPB, yakni Adanya Master Sailing, Dokumen kapal, dokumen crew, muatan dan penumpang. Lalu Adanya Crew List, Pelunasan pembayaran penerimaan negara bukan pajak ( PNBP). Jika semua perihal tersebut diatas telah terpenuhi, maka Surat Persetujuan Berlayar (SPB), dapat diproses lanjut untuk penerbitannya. Jadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan MOU Polri-DJPL,” bantah Capt Sukriadi, petugas kesyahbandaran (UPP kelas II Tanjung Redeb) kepada Ocean Week, Senin malam (26/10).
Menurut Capt. Sukriadi, pihaknya dalam melaksanakan tugas selalu berpedoman kepada Norma, Standard, Prosedur dan Kriteria (NSPK) serta ketentuan dan peraturan yang berlaku.
“Kami mendorong peningkatan Pelayanan Publik dengan Standard Operasional Prosedur (SOP) guna mencapai peningkatan pelayanan yang maksimal. Tidak ada kaitan penerbitan SPB, untuk lapor ke Polres,” ungkap Sukriadi.
Sebelumnya, dalam berita Ocean Week menyebutkan bahwa Nota kesepahaman antara Kemenhub RI dengan Kepolisian RI no. HK 202/13/DJPL/2020, no. NK /21/2020 tentang Pelaksanaan Penegakan Hukum di bidang Pelayaran, memperoleh kritik negatif dari para pelaku pelayaran, karena dalam implementasinya dirasakan merugikan pelayaran.
“Kecurigaan kita mungkin karena MOU ini. Polisi sampai naik-naik kapal mengecheck document kapal dan manifest muatan?. Ijin berlayarpun dikondisikan harus lapor Polres? baru KUPP beri SPB? ini laporan dari anggota-anggita kita. Sejak kapan SPB harus seperti itu,” kata Hasanul Batubara (Ketua DPC INSA Berau Kaltim) kepada Ocean Week menjawab melalui WhatsApp nya, Minggu sore.
Hasanul Batubara menyatakan kalau hal itu merupakan laporan dari para pemilik kapal dan pemilik barang khususnya komuditas kayu, besitua, dan CPO.
“Kejadiannya sejak KUPP yang baru ini. Saya sudah minta mereka (pelayaran) buat laporan tertulis ke kita (INSA Berau),” ujarnya.
Ketika masalah ini Ocean Week konfirmasikan kepada Dirjen Perhubungan Laut R. Agus Purnomo, melalui WA nya, hingga tulisan ini dibuat belum memperoleh jawaban.
Sementara itu, Capt. Zaenal Hasibuan (pelaku bisnis pelayaran) mengaku sangat prihatin dengan kejadian tersebut. “Dengan adanya MOU Hubla & Polri, kebetulan yang nandatangani MOU tersebut sekarang jadi Polda Kaltim. Kasihan anggota-anggota kita kapal-kapak diperikasai Polri, baik Polres maupun Polda, ujung-ujubgnya pemilik kapal dan TUKS di BAP di Polres,” ungkap Zaenal melalui WA-nya kepada Ocean Week, Minggu malam.
Zaenal mengemukakan, karena kondisi ini, ujung-ujungnya owner TUKS dan Ships owner terpaksa harus silaturahmi dengan Kapolres (Polda)?. “Mereka lapornya kekita (INSA) juga sebagai ketua Forum dan DPC INSA karena di Berau belum ada Assosiasi TUKS,” kata Zaenal mengutip omongan Hasanul Batubara.
Atas keluhan tersebut, katanya, KUPP di Tanjun Redep tiga hari lalu sudah dipanggi oleh ketua DPRD untuk dimintai penjelasannya.
Hasanul juga masih belum memberikan informasi lebih detil kepada Ocean Week mengenai masalah ini, karena dia berjanji akan memberi informasi setelah mendapat laporan dari sekretariat DPC INSA Berau.
“Ada baiknya kalau Menhub juga mengetahui soal ini, pelayaran selama ini sudah cukup berat dengan kondisi dan situasinya, ini malah ditambah masalah lagi,” keluh Hasanul.
Sedangkan DR. Umar Aris, staf ahli Kemenhub melihat kebijakan MOU yang dibuat ini masih relatif aman dari persfektif Hukum, namun DJPL harus tetap Waspada dan Sungguh-sungguh mendengar masukan-masukan terutama pelaku operator di lapangan akan dampaknya suatu kebijakan dilapangan.
“Yang tau persis ya kawan-kawan di lapangan ( wajib didengar) sepanjang di dukung data, fakta dan kenyataan dengan bukti-bukti ( bukan asumsi atau baru kekhawatiran-kekhawatiran dan boleh juga. Saya katakan aman MOU bukan peraturan perundang-undangan, dia dikacamata hukum tidak lebih NOTA KESEPAHAMAN, SALING DUKUNG, SALING PENGERTIAN DAN SINERGITAS dari pertukaran data, kerjasama operasi, tukar menukar informasi serta SINERGI DAN KOLABORASI POSITIF dua instansi ini. Karena hanya MOU, maka dalam pelaksanaan operasionalnya dia tetap tunduk pada peraturan perundang-undangan yang ada untuk Pelayaran ( UU 17/ 2008, PP dan permenhub peraturan pelaksanaanya). Makanya perlu sosialisasi bersama antara Polri dan DJPL, pesertanya juga unsur Polri dan DJPL untuk mendengar langsung maksud tujuan MOU ini supaya ada pemahaman bersama, tidak menafsirkan masing-masing,” kata Umar panjang lebar.
Untuk diketahui dalam bab VII Nota Kesepahaman tersebut disebutkan, para pihak (Polri-DJPL) sepakat melakukan monitoring dan evaluasi terkait pelaksanaan nota kesepahaman ini secara bersama-sama dan berkala paling sedikit 2 kali dalam setahun atau secara insidentil sesuai kebutuhan dan berdasarkan kesepakatan para pihak.
“Kalau memang bisa ya evaliasi, kalau perlu dibatalkan saja MoU tersebut, karena telah membuat keresahan pelayaran,” kata Capt. Zaenal. (***)