Pelayaran mengapresiasi positif transhipment Tanjung Priok, karena bisa memangkas waktu perjalanan, dan lainnya. Namun, mereka (pelayaran) menyayangkan masih tingginya biaya yang harus ditanggung pelayaran. Sebeb, barang yang dibongkar di terminal konvensional Priok bukan dihitung sebgai transhipment internasional, melainkan dikenai biaya lokal.
Misalnya petikemas dari Pontianak atau Banjarmasin, dibongkar di terminal konvensional, dan setelah dibongkar, kemudian di tarik ke terminal internasional di Priok, dikenai biaya domestik, dan di terminal internasional masih dikenai lagi biaya VGM, padahal di pelabuhan asal sudah kena biaya VGM.
“Belum lagi pelayaran harus bayar ongkos trucking yang cukup mahal. Kalau petikemas 20 feet dari terminal konvensional ke terminal internasional dikenai Rp 600 ribu, dan yang 40′ rp 800 ribu. Ini cukup memberatkan pelayaran,” kata Sunarno dari Tresnamuda Sejati, dan Markus Marsidi dari pelayaran SPIL, kepada Ocean Week, Kamis siang (24/1).
Menurut keduanya, sebenarnya pelayaran ingin dokumen kepabeanan diberlakukan sebagai angkut lanjut. Tapi karena terminal internasional tidak mengakui petikemas tersebut sebagai barang transhipment, sehingga dikenai tarif lokal, dan dokumen juga mesti dilaporkan ke bea cukai sebagai kargo transhipment. Meskipun barang tersebut dari pelabuhan asal sudah memperoleh ijin kepabeanan untuk ekspor.
“Mestinya tarif-tarif yang muncul juga diberlakukan sebagai tarif transhipment, bukan dihitung domestik. Ini yang barangkali Priok sulit bersaing dengan Singapura dan Malaysia, biayanya masih mahal,” kata Nano dan Markus.
Sebelumnya, Direktur Operasi dan Sistem Informasi PT Pelabuhan Indonesia II Prasetyadi mengaku optimis transhipment Tanjung Priok dapat terwujud, karena pihaknya akan menarik kargo internasional dari pelabuhan di wilayah kerja Pelindo II, seperti Palembang, Pontianak, Jambi, Panjang, dan lainnya untuk transshipment di Pelabuhan Tanjung Priok, tidak lagi lewat Singapura.
Bahkan, menurut Prasetyadi, kargo (petikemas) dari wilayah Cirebon dan sekitarnya yang selama ini diangkut menggunakan truk, direncanakan bisa melalui jalur laut, dari Cirebon transhipment ke Jakarta, dan kemudian dipindahkan ke kapal besar untuk lanjut ke negara tujuan.
“Sekitar 80% kargo internasional dari Panjang, Lampung, dikapalkan ke Singapura. Begitu pula dari Jambi sekitar 60%, belum lagi dari Pontianak, dan lainnya, dan itu yang akan kami komunikasikan agar barang-barang ekspor itu bisa lewat Priok,” katanya kepada Ocean Week, beberapa waktu lalu.
Nano dan Markus menyatakan, sepanjang tarifnya lebih murah atau minimal sama dengan lewat Singapura, sangat bagus transhipment Priok. “Yang penting waktu tepat, kapalnya ada, dan tarifnya sama dengan Singapura,” kata Sunarno dari Tresnamuda Sejati dan Theo Rinastowo dari Pelayaran IFL.
Untuk diketahui, Tresnamuda Sejati selama ini banyak menangani petikemas dari Panjang, Priok, Singapura. Sementara itu IFL banyak petikemasnya dari Palembang-Priok.
Prasetyadi mengungkapkan kalau 7 juta TEUs barang ekspor Indonesia selama ini transit di Singapura, jika ada 3 juta TEUs dapat ditarik ke Priok, maka di Priok bisa menjadi 10 juta TEUs, karena tahun 2018 produksi petikemas Priok sudah mencapai 7,4 juta TEUs.
Sekarang ini, ungkapnya, Pelindo II sedang merumuskan tarif biaya jasa kapal dan penanganan kontainer (container handling charge/CHC) di pelabuhan asal dan pelabuhan transshipment, dan tentunya lebih kompetitif. “Tarifnya sedang dihitung Pak Saptono (Direktur Komersial dan pengembangan usaha),” kata Prasetyadi.
Prasetyadi mencontohkan, tarif direct call Tanjung Priok-Los Angeles (LA) rata-rata lebih murah US$500 dibandingkan direct call dari Tanjung Pelepas (Malaysia) dan Korea Selatan. Dari sisi waktu juga lebih singkat, dari Priok-Los Angeles hanya 24 hari, sedangkan dari Malaysia butuh 32 hari dan dari Korea Selatan 37 hari.
“Untuk direct call Priok-Los Angeles sudah berjalan, kita akan usahakan ke rute Eropa, Australia, dan Asia,” kata Prasetyadi. (***)