Mimpi menjadikan Indonesia ‘tuan rumah’ maritime tampaknya masih perlu perjuangan panjang bagi negeri ini. Karena setiap pemangku kekuasaan memiliki selera berbeda. Meski semangat dan niatnya sama, namun eksekusi kebijakannya yang tak sama.
Padahal Indonesia sebagai salah satu negara maritim besar dan sudah merdeka 70-an tahun, seharusnya mempunyai infrastruktur ke maritiman yang kuat. Mestinya kita sudah harus memiliki pelabuhan yang canggih karena pasar nasional sangat besar. Pun dengan sumber daya manusia seharusnya juga sudah berkelas, begitu pula dengan jenis armada kapal kontainer, armada kapal angkut migas dan batubara, armada kapal penangkap ikan, armada kapal penumpang yang modern, aman dan nyaman, termasuk armada kapal TNI Laut, serta regulator sektor kemaritiman yang kuat dan disegani dunia internasional. Sayang, semua itu belumlah sepenuhnya dapat dicapai Indonesia.
Sejak Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 lalu sampai hari ini, industry kemaritiman RI belumlah dikelola secara optimal dan maksimal. Mungkin itu karena adanya selera penguasa tadi. Padahal potensi kekayaan alam nasional dan lainnya sangatlah memungkinkan Indonesia menjadi nagara maritime yang disegani dunia.
Tetapi, apa mau dikata, bahwa tata kelola sector kemaritiman kita mungkin masih jauh untuk dapat meraih mimpi tersebut. Akibatnya jarang ada Negara di dunia ini yang segan dan menghormati Indonesia sebagai salah satu Negara maritime yang kuat. Mereka tak lebih hanya menempatkan Indonesia sebagai Negara tempat memasarkan produk kemaritiman Negara-negara mereka dan mengambil sumber daya yang ada.
Pertanyaannya, kenapa Indonesia lamban mewujudkan Negara kemaritiman, sebagaiman dulu Gajah Mada dengan Sumpah Palapanya sempat menguasai maritime dunia. Kini disaat Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkeinginan mencapai maritime Indonesia sebagai kekuatan bangsa ini, kenapa pula justru tata kelolanya semakin tak sesuai dengan apa yang dimimpikannya.
Bahkan sekarang sector maritime kita boleh dibilang semakin berat dan hancur. Kenapa, kenapa dan kenapa. Pertanyaan itu lagi yang selalu menggelitik kita semua. Barangkali, jawabannya sederhana, itu karena pemerintah tidak ada ketegasan, juga karena regulasi yang dibuat belumlah berpihak pada sector ini. Dan kalau toh ada, masih setengah hati.
Sebagai contoh pada system finansial. Kebijakan sector perbankan atau lembaga keuangan di Indonesia masih belum mendukung terhadap industry kemaritiman ini, karena isdustri ini dianggap slow yielding. Bahkan bunga yang disodorkan masih sangat tinggi dibandingkan dengan perbankan asing. Bunga pinjaman yang diberikan berkisar antara 11%-13% per tahun dengan 100% kolateral.
Di Singapura misalnya, perbankan disana hanya mengenakan bunga 2% + Libor 2% atau total sekitar 4% per tahun, dengan equity hanya 25% sudah mendapatkan pinjaman tanpa kolateral, karena kapal dapat sebagai jaminannya. Karena itu, pengusaha kapal nasional masih sulit memperoleh pembiayaan dari perbankan nasional untuk membeli kapal disebabkan system perbankan Indonesia seperti itu.
Lalu sector perpajakan nasional yang juga cukup memberatkan usaha sector ini. Padahal sesuai dengan Kepmenkeu No 370/KMK.03/2003 tetang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan Atas Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu, pasal 1, ayat 1 huruf e, jelas bahwa sektor perkapala mendapat pembebasan pajak. Namun semua pembebasan pajak itu kembali harus dibayar jika melanggar pasal 16. Artinya kebijakan tersebut abu-abu. Apa isi pasal 16?
Sesuai dengan pasal 16: Pajak Pertambahan Nilai yang terutang pada impor atau pada saat perolehan Barang Kena Pajak Tertentu disetor kas negara apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak impor dan atau perolehan Barang Kena Pajak Tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 huruf e, huruf f, huruf g dan huruf h ternyata digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau di pindahtangankan kepada pihak lain baik sebagian atau seluruhnya?. Artinya, jika pengusaha kapal akan menjual kapalnya sebelum 5 tahun sejak pembelian harus membayar pajak kepada negara sebesar 22,5% dari harga penjualan (PPn 10%, PPh impor 7,5% dan bea masuk 5%).
Padahal di Indonesia jarang ada kontrak penggunaan kapal lebih dari 5 tahun, paling banter 2 tahun. Jadi jika tidak ada kontrak, supaya pengusaha kapal tidak menanggung rugi berkepanjangan mereka harus menjual kapalnya. Untuk itu pengusaha harus membayar pajak terhutang kepada Negara sesuai Pasal 16 tersebut. Benar-benar industri maritim negara ini dihambat kemajuannya dari segi kebijakan fiskalnya oleh Negara.
Sebagai perbandingan, di Singapura, pemerintah akan memberikan insentif, seperti pembebasan bea masuk pembelian kapal, pembebasan pajak bagi perusahaan pelayaran yang bertransaksi diatas USD 20 juta karena Pemerintah Singapura menyadari kalau investasi di industri pelayaran bersifat slow yielding sehingga perlu diberikan insentif. Kalaupun kapal harus dijual, Pemerintah Singapura membebaskan berbagai pajaknya.
Dari pemberian berbagai insentif bagi perusahaan pelayaran, Pemerintah mana pun akan berpikiran bahwa penerimaan dari pajak mungkin akan menurun namun penerimaan dari sektor lain pasti akan bertambah. Misalnya, semakin banyak tenaga kerja asing tinggal dan bekerja pada akhirnya akan semakin banyak uang yang dibelanjakan di negara tersebut. Selain itu transaksi perbankan biasanya juga akan semakin banyak, sehingga pendapatan Negara juga akan meningkat.
Owners PT Gurita Lintas Samudera, H. Soenerto juga mengaku bingung dengan system perpajakan nasional. “Antara istilah ‘tidak dipungut’ dan ‘dibebaskan’ dalam perpajakan saja masih debatable,” ujarnya.
Hal lain yang kemungkinan membuat lambannya sector kemaritiman kita, yakni buruknya kualitas sumber daya maritim Indonesia menyebabkan biaya langsung industri maritim menjadi tinggi. Meski gaji tenaga Indonesia 1/3 gaji tenaga kerja asing tetapi karena rendahnya disiplin dan tanggungjawab, menyebabkan biaya yang harus ditanggung pemilik kapal berbendera dan berawak 100% orang Indonesia (sesuai dengan UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran) menjadi sangat tinggi. Ironisnya, menurut cerita beberapa pelaku usaha pelayaran, jika kapal berawak 100% asing yang mahal, ternyata pendapatan perusahaan pelayaran bisa meningkat 2x lipat.
Problem lain yang juga ditengarai menjadi salah satu sulitnya industry maritime kita maju, adalah persoalan klasifikasi industri maritim yang ditangani PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), membuat industri maritim Indonesia semakin terpuruk. Semua kapal yang diklasifikasi atau disertifikasi oleh PT BKI, patut diduga tidak diakui oleh asuransi perkapalan kelas dunia atau kalaupun diakui, pemilik kapal harus membayar premi asuransi sangat mahal.
Pada beberapa tahun lalu, pemerintah sempat mengeluarkan regulasi cabotage, dan itu dianggap berhasil untuk menumbuh-kembangkan industry pelayaran dalam negeri. Dengan regulasi tersebut, data mencatat pertumbuhan dan penambahan kapal bendera Merah Putih bertambah ribuan unit kapal. Tetapi, pertanyaannya apakah hanya kita senang dengan tambah kapal saja. Mestina keberhasila cabotage local ini harus dilanjutkan dengan cabotage keluar atau yang dikenal dengan ‘beyond cabotage’.
Namun, mewujdukan beyond cabotage sampai sekarang masih sulit, buktinya pasar ekspor-impor nasional masih dikuasai oleh kapal-kapal asing. Padahal dari sisi ini, Negara kehilangan devisa dari angkutan kapal hingga ratusan triliun rupiah per tahun.
Lalu, bagaimana Indonesia mengatasi problema tersebut. Jika industri maritim Indonesia mau berkembang dan siap bersaing dengan industri sejenis dikawasan, maka pemerintah cq Kementerian Perhubungan, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan harus membuka mata dan jangan mau dipengaruhi oleh para pelobi yang mewakili pihak-pihak tertentu untuk kepentingannya tanpa memikirkan nasib bangsa ini.
Untuk itu, pemerintah harus merevitalisasi atau deregulasi di sektor fiskal sehingga kompetitif dengan beberapa Negara tetangga, dan itu jangan setengah hati. Lalu benahi dan tingkatkan lembaga pemberi klasifikasi sehingga dunia internasional pelayaran dan asuransi kerugian mengakui keberadaannya. Kemudian susun ulang kurikulum lembaga pendidikan maritim oleh Kemendiknas supaya Indonesia mempunyai SDM maritim yang berkualitas dan bertanggungjawab. Bukan sebagaimana yang sering kita tonton di lembaga pendidikan pelayaran kita yang terkesan penuh kekerasan.
Persoalannya, beranikah Menteri Keuangan, Menteri Perhubungan, Menteri BUMN dan Menteri Pendidikan Nasional melakukan perubahan drastis untuk itu? Meski tanpa ada perintah dan titah dari presiden. “Ini menjadi ‘PR’ pemerintah Jokowi-JK yang pada awal kampanyenya mengusung maritime sebagai kekuatan dan potensinya. Presiden Jokowi harus berani dan tegas untuk dapat mewujdukan cita-citanya, sehingga apa yang sering didengang-dengungkan dengan ‘cost logistic murah’-nya itu dapat diwujudkan.
Kesempatan mewujudkan mimpi Negara Maritim ini masih terbuka lebar, asalkan dilakukan dengan tepat dan pas. Atau kita masih berpikir menunggu tergilas oleh asing baru kita bangkit. Ataukah kita selalu berpikir seperti ungkapakan jika ‘Belanda masih Jauh’, lalu kita tetap tenang-tenang saja. (oceanweek)