Selat Malaka, Selat Sunda dan Selat Lombok menjadi peluang potensial bagi Indonesia untuk memanfaatkan posisinya menggarap jasa sektor kemaritiman ini.
Sebagai contoh di selat Malaka, potensi devisa negara terserap dari sini bisa mencapai US$ 130 miliar. Itu dapat dari ship to ship transfer, bunkering, supplies, sparepart, kru, limbah, dan layanan pandu tunda.
Jika potensi itu bisa diraih Indonesia maka dipastikan akan menciptakan lapangan kerja hingga 200.000 orang.
PT Pelindo Marine, anak usaha Pelindo III sudah ikut bermain di selat Malaka. Akankah PT Jasa Armada Indonesia (JAI), anak perusahaan Pelindo II menyusul juga kesana. Atau barangkali keduanya sedang menyiapkan strategi untuk bisa menggarap potensi bisnis kemaritiman di selat Sunda dan selat Lombok.
Lalu, bagaimana pula dengan selat Sunda dan selat Lombok, mungkinkah potensi ini juga dapat digarap indoensia dalam rangka devisa, apalagi kedua selat ini sudah menjadi wewenang indonesia mengatur kebijakan.
Salah satu direktur JAI capt. Supardi kepada Ocean Week menyatakan jika perseroan (JAI) sedang mempelajarinya. “JAI akan masuk juga kalau sudah kelar persiapannya,” katanya Selasa pagi ini.
Pengamat kemaritiman Indonesia Capt Zaenal A. Hasibuan menilai potensi di kedua selat itu (Selat Sunda dan selat Lombok).
“Secara kacamata teknis, saya memberikan pandangan atas harapan pemerintah akan potensi kedua selat itu sebagai berikut. Kita lihat dari data dan fakta bahwa TSS Selat Sunda Memiliki Panjang sekitar 9 mil, lebar dari Pulau Sangiang ke Pulau pulau di depan Bakaheuni sekitar 3 mil. Kedalaman di TSS berkisar 100 meter,” ujar capt. Zaenal mengawali ceritanya.
Menurut dia, Traffict Flow yang paling banyak tentu yang crossing ( Ferry merak- Bakaheuni). Mereka semua akan memotong TSS dimuka Bakaheuni. Akan terjadi peningkatan kesulitan bernavigasi di Bakaheuni, karena jaraknya ke TSS hanya sekitar 3 mil.
“Melihat kondisi dan situasi itu, masih dibutuhkan usaha yang panjang dan keras untuk berbicara soal pemanduan karena TSS ini pendek dan lautnya dalam serta traffic nya belum terlalu ramai saat ini. Kapal-kapal Indonesia yang datang dari Laut Jawa menuju Selatan ke Pelabuhan Ratu, atau Cilacap (pp) tidak menggunakan TSS. Mereka menggunakan Inshore Traffic alias rute lama dekat dengan pantai Banten kearah selatan dan sebaliknya,” ungkapnya panjang lebar.
Capt. Zaenal juga mengungkapkan bahwa dari data diatas, bisa dijabarkan soal potensi-potensi yang diharapkan, misalnya Ship to Ship Transfer biasa dilakukan untuk muatan Curah Basah dan Curah Kering dan ini dilakukan karena kendala terminal yang terbatas kedalamannya.
“Jadi hampir dipastikan STS dilakukan dekat dengan sumber muatan atau tempat tujuan akhir muatan, bukan ditengah perjalanan. STS Batubara dilakukan di pelabuhan muat di Kaltim, Kalsel, dan Sumsel. Sementara STS di Singapura dilakukan karena adanya FSO yang mangkal disana untuk menerima atau membongkar muatan tidak jauh dari Singapura,” katanya menegaskan.
Kapal Internasional yang melewati Selat Sunda, ujar Zaenal, umumnya berasal dari Timur Tengah atau Afrika Selatan dengan tujuan akhir Negara Timur Jauh (Jepang, Korea dan Cina). “Hampir dipastikan mereka tidak melakukan STS ditengah jalan yang jauh dari tujuan akhirnya. Jadi kemungkinan STS di Selat Sunda sangat kecil untuk saat ini. Kecuali kita membeli minyak dari Timur Tengah menggunakan kapal-kapal asing dan membongkarnya disana, sebagai muatan yang diangkut oleh kapal-kapal Jepang, Korea dan Cina,” jelasnya.
Lalu soal Peluang Bunker di Selat Sunda, harus diingat bahwa kapal- kapal besar menggunakan Low Sulfur MFO sebagai BBM nya, dan kita masih terbatas kemampuan produksi LSMFO untuk kapal dalam negeri saja dengan harga yang lebih mahal dari di Singapura.
“Jadi sementara jika ingin berbisnis BBM di Selat Sunda, kita belum cukup punya BBM tersebut, lain hal kalau ingin menjadi agen yang membeli BBM murah di Singapura dan menjualnya kembali,” ungkapnya lagi.
Sedangkan untuk pemanduan, menurut Capt. Zaenal yang paling memungkinkan, terutama jika traffik di Selat Sunda sudah sangat ramai, sehingga pelayanan diminta oleh kapal karena ingin tambahan jaminan jasa pandu disana. “Kalau jasa tunda jelas tidak ada, karena jika hanya pandu laut dalam, sang pandu hanya naik menggunakan pilot boat tanpa dibantu kapal tunda,” ujarnya.
Sementara di selat Lombok, dengan kedalaman terkecil 132 meter, selebihnya diatas 200 meter (sangat dalam), panjang TSS sekitar 30 mil, lebar terkecil antara Lombok dan Nusa Penida 12 mil, umumnya trafik disana dari dan ke Australia dan Timur Jauh.
“Umumnya Bulk Carrier berukuruan besar. Sama dengan peluang di Selat Sunda, kemungkinan potensi yang didapat hanya pemanduan jika trafik meningkat,” katanya.
Jadi, kata Zaenal, peluang tetap ada, namun masih membutuhkan waktu yang panjang.
Sangat Besar di Selat Malaka
CEO Pelindo Marine Group Eko Hariyadi menyatakan potensi ekonomi maritim di Selat Malaka sangat besar karena posisinya sebagai alur laut dunia yang membuat lebih dari 75.000 kapal melalui selat itu setiap tahunnya.
Potensi ini, katanya dapat digarap oleh Pelindo Marine karena sudah turut melakukan pandu kapal-kapal di wilayah selat tersebut. Dia pun menyebutnya cukup mudah, karena sudah dapat bersaing di jalur padat itu.
Eko juga menyebut Traffic Separation Scheme (TSS) di Selat Sunda dan Selat Lombok pun harus dimanfaatkan dari sisi ekonomi oleh pengusaha domestik.
Pihaknya menyebut potensi Selat Sunda hingga 54.000 kapal per tahunnya, sementara di Selat Lombok mencapai 37.000 kapal per tahun. Walaupun skalanya tak sebesar Selat Malaka, kedua selat ini pun memiliki potensi ekonomi yang bisa digarap.
“Saya melihat sudut pandang pelaku usaha, kenapa mesti dideklarasikan TSS di kedua selat ini selain safety ada manfaat ekonomi yang bisa diambil,” ungkapnya.
Dia menegaskan pentingnya pengusaha domestik di sektor maritim dapat menggaet potensi tersebut dan menjadi pemain dunia, karena dari sisi jasa Indonesia pun mampu bersaing secara internasional. (***)