Program tol laut yang sudah berjalan sekitar 5 tahun sejak dicanangkan pertama kali pada tahun 2015 lalu, masih sering menjadi bahan perbincangan berbagai kalangan usaha, dan pemerintah sendiri.
Misalnya baru-baru ini, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan melakukan evaluasi terhadap program andalan presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut, karena dinilainya belum efektif dan belum berjalan secara maksimal.
Bahkan, belum lama ini Kementerian Perhubungan mendiskusikannya, sekaligus bedah buku ‘tol laut’ yang diterbitkan oleh tim Ditjen Perhubungan Laut tersebut.
Tol laut memang ada yang menyatakan sebagai program yang memberi manfaat bagi masyarakat terpinggir, terluar, dan mampu menurunkan cost logistik di wilayah Indonesia Timur, namun tak sedikit pula yang ‘nyinyir’ terhadap program ini.
Mereka yang tak sepakat dengan program tol laut ini sering menyindir bahwa tol laut hanya menghambur-hamburkan uang negara yang total selama 5 tahun ini mencapai 1 triliun rupiah lebih. Tetapi, manfaatnya buat masyarakat tak begitu terasa.
Paling, yang banyak diuntungkan antara lain adalah sejumlah oknum pedagang dan sejumlah pelaku usaha lain yang terkait dengan tol laut.
Jika menengok pada data yang pernah disajikan oleh Perhubungan Laut, tingkat keterisian barang yang diangkut menggunakan tol laut sejak awal terus meningkat hingga 2019.
Kalau pada tahun 2016 masih sebesar 81.404 ton, di tahun 2017 menjadi 233.139 ton, dan naik lagi menjadi 239.875 di 2018, lalu menjadi 245.378 ton pada 2019. Hingga September 2020, total muatan berangkat sebesar 8.708 TEUs dan total muatan balik sebesar 2.552 TEUs.
Menko kemaritiman Luhut mengungkapakn bahwa tingkat keterisian muatan berangkat sejauh ini sebesar 74,8% sedangkan muatan balik 6,7%.
“Jadi kalau muatan baliknya masih belum terlalu banyak. Kan masalahnya muatan balik bukan masalah tranportasinya tapi masalah komoditinya. Komoditi kan kementerian yang atur masalah komoditi itu yang harus dipush terus, termasuk pemdanya,” jelas Luhut baru-baru ini.
Dari sisi barang yang diangkut tercatat ada kenaikan, tetapi dari sisi jadwal kapal, masih sering ada keterlambatan. Padahal schedule kapal tol laut ini sangat penting untuk diketahui semua pihak.
Sebab, dengan mengetahui lebih awal jadwal kapal tol laut, pengguna jasa dapat merencanakan dengan tepat.
Makanya, Direktur Lala Hubla Capt. Antoni Arif Priadi mengatakan akan mengevaluasi program tol laut diakhir tahun 2020 nanti.
Yang pasti, dengan adanya tol laut, jumlah pelabuhan yang terkoneksi pun terjadi peningkatan. Misalnya, pada tahun 2016 baru tercatat 31 pelabuhan, meningkat menjadi 43 pelabuhan di 2017, dan naik lagi jadi 61 pelabuhan di 2018, lalu ada 76 pelabuhan di 2019, dan di tahun 2020 sebanyak 99 pelabuhan.
Dari total keterisian barang yang diangkut kapal tol laut, wilayah Saumlaki mencatatkan yang terbaik yakni diatas 700 ton di tahun 2019, disusul Tidore, Raha, dan Dobo.
Menteri kemaritiman Luhut Panjaitan pun sudah memerintahkan anak buahnya untuk mengawal program ini dan mengupayakan tol laut masuk dalam Ekosistem Logistik Nasional (NLE).
Kenapa pemerintah tidak berpikir kembali mengenai ‘Gerai Maritim’ yang dulu pernah dicanangkannya, lalu ada pula ‘Rumah Kita’, dan mencoba menggandeng Bulog sebagai salah satu mitra untuk mengatur arabisasi harga pangan melalui program tol laut. Percayakan kepada Bulog sebagaimana Pertamina mengatur satu harga untuk BBM.
Hanya saja, koordinasi antar pemerintah (Kemenhub, kemendag, Pemda, dan semua unsur terkait) yang perlu ditingkatkan dan dilakukan.
Sebab, tol laut itu bukan milik Kemenhub, seperti kebanyakan pola pikir masyarakat jika mendengar tol laut, pasti ingat Kemenhub. Padahal kemenhub hanya menyiapkan sarana angkutnya saja dari pelabuhan ke pelabuhan. Urusan perdagangannya tak lagi menjadi domain Kemenhub, apalagi urusan di daratnya, Kemenhub tak ikutan.
Sekali lagi, apakah program tol laut bakal dilanjutkan atau distop, belum ada yang bisa memutuskan. Evaluasi, evaluasi dan evaluasi, itulah jawaban pemerintah yang hingga kini terus disampaikannya.
Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengemukakan, kalau pihaknya akan melakukan sejumlah pengembangan trayek hingga digitalisasi Tol Laut sehingga program itu bisa lebih efektif dan efisien ke depannya.
Contohnya pengembangan dengan pola hub and spoke, dengan melibatkan peran pelayaran swasta nasional. Lalu melengkapi fasilitas bongkar muat di pelabuhan singgah T3P, perbaikan performa kapal dalam hal operasional dan pemeliharaan, dan pengembangan dan perbaikan sistem digitalisasi.
Sementara mengenai jadwal Kemenhub melalui Direktorat Jenderal Lalu Lintas dan Angkutan Laut (Ditjen Hubla Kemenhub) telah menyiapkan platform digital Logistic Communication System (LCS).
“Nantinya akan ada kemudahan melakukan purchase order dan consignee dapat memilih sendiri pemasok, JPT, dan jadwal kapal,” kata Budi Karya.
Jadi, akan dibawa kemanakah program tol laut ini. Lanjut atau stop, mengingat subsidi yang telah digelontorkan hingga triliunan rupiah selama lima tahun ini, tak sia-sia dan tepat sasaran.
Dan ini bukan saja menjadi tugas Kemenhub, melainkan pihak-pihak terkait dengan program tol laut ini. Tanpa ada keterlibatan semau pihak melalui harmonisasi koordinasi, diyakini tol laut akan jalan ‘ditempat’ dan menghamburkan uang negara secara percuma. (***)