Terhitung sejak April 2017, BP Batam tak lagi memungut PNBP labuh kapal lay up di wilayah Barelang, namun untuk selanjutnya diserahkan kepada Perhubungan Laut.
“Karena Pemprov Kepri (Kepulauan Riau) juga menghendaki mengolah lay up 12 mil dari pelabuhan sesuai UU no. 23,” kata Suparno, Sekretaris DPC INSA Batam melalui WhatsApp-nya yang dikirimkan ke Ocean Week menjawab pertanyaan adanya pungutan jasa labuh jangkar di perairan Kepri, Sabtu (12/8) pagi.
Seperti diketahui bahwa pemerintah provinsi Kepri sudah mulai memungut jasa labuh jangkar di perairan Kepri periode April-Mei, terkumpul sebesar Rp 12 miliar. Sayangnya, uang hasil pungutan tersebut tidak berada di tangan bendahara dinas perhubungan, melainkan dititipkan di agen pelayaran.
“Target per bulan itu sebenarnya Rp 20 miliar. Untuk April-Mei saja bendahara Dishub sudah mengeluarkan invoice, totalnya Rp 12 miliar. Tetapi uang itu tidak di kas melainkan dititip di agen pelayaran,” kata anggota komisi II, dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD), Onward Siahaan kepada wartawan di Graha Kepri, Jumat (11/8).
Oleh sebab itu, Onward mendesak Gubernur segera menerbitkan Pergubnya (peraturan gubernur), sehingga persoalan ini bisa selesai. “Kita dari DPRD mendesak agar Pergub segera diterbitkan. Kita apresiasi Kadishub yang sudah berani langsung kerja dan memungut, tapi karena Pergub tak ada, uang itu terpaksa dipihak swasta,” ungkapnya.
Menurut Onward, menitipkan uang di pihak lain kurang tepat, bahkan sangat berisiko. “Kalau agen pelayaran itu hilang atau kabur. Bagaimana dengan nasib uang itu. Siapa yang tanggung jawab. Harusnya itu di kas daerah,” katanya lagi.
Mengenai uang PNBP labuh yang dititipkan ke agen pelayaran, Suparno menyatakan mengetahuinya. “Perlu saya cek dulu ya, karena wilayah lay up ada yang mengurusi semacam BUP,” ujar Parno.
Tetapi, kata Onward, alasan Provinsi Kepri menitip uang itu di agen pelayaran karena belum diterbitkannya peraturan gubernur. Demikian halnya dengan petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis) yang juga belum ada.
“Undang-undang pemerintahan daerah itu sudah sangat kuat. Kalau menunggu PP,masalah juknis dan juklaknya bisa menyusul. Tetapi ini harus jalan, dan siapa yang tanggung jawab kalau ada masalah,” ujarnya.
Invoice untuk itu, ungkap Onward, akan terus dikeluarkan oleh Dishub, karena jika tidak pihak Syahbandar tak akan mengeluarkan surat ijin berlayar (SIB). “Bukti lunas pembayaran jasa labuh jangkar harus ada. Kalau tidak, Syahbandar tidak akan mengeluarkan SIB,” ucap Onward.
Kepala Dinas Perhubungan Jamhur Ismail saat dikonfirmasi mengenai uang jasa labuh sebesar Rp 12 milyar, tidak bersedia komentar panjang lebar. “Yang jelas masih kita hitung semua. Yang kita pungut itu hany jasa labuh. Yang lain itu, misalnya jasa rambu, jasa pengawasan, jasa GPS ada di kementerian (Perhubungan Laut-red),” katanya.
Sementara itu, Badan Pengusahaan (BP) Batam menyarankan Pemerintah Provinsi (Pemprov) untuk membentuk satuan petugas (satgas) untuk memungut jasa labuh jangkar sekaligus mengawasi praktek kegiatan kapal di wilayah lay up (parkir) Kepri.
“Butuh satuan lima kali lebih banyak dengan operasional sekitar Rp 20 miliar. Saya yakin Pemprov punya banyak petugas untuk mengawasi laut Kepri,” kata Kepala Kantor Pelabuhan Laut BP Batam, Nasrul Amri Latif, jumat (11/8).
BP Batam sendiri tidak tertarik mengelola pajak labuh jangkar di wilayah lay-upnya, karena lebih banyak yang lay up di Singapura. Padahal, dalam setahun potensi yang diperoleh bisa mencapai Rp 32 miliar. (***)