Penyelesian dwelling time di pelabuhan dinilai Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DPW DKI Jakarta bukan dengan cara menerjunkan kepolisian, memerintahkan Menteri Perhubungan yang sekarang terlihat ngotot koordinasi sana-sini menuntaskan masalah ini.
Dwelling Time adalah masa inap container di pelabuhan mulai unloading sampai gate out, yang di dalamnya ada 3 penyelesaian dokumen ( Pre Clearance, Custom Clearance dan pos Clearance) yang hitungannya adalah ketiga urusan tersebut sudah di selesaikan.
“Mengatasi dwelling time untuk pelabuhan Indonesia, mestinya Presiden Jokowi keluarkan saja Keppres (Keputusan presiden). Dari 18 K/L (institusi pemerintah) yang terlibat dalam komponen dwelling time ini, Regulasi yang memayungi masing-masing disederhanakan akan tetapi pengawasan tidak boleh diabaikan karena kepentingan Pemerintah maupun Industri / dunia usaha tetap terjaga tentunya perlu menghilangkan ego sektoral di seluruh lembaga yang terkait dan seluruhnya masuk dalam Virtualisasi Otomasi satu atap dalam system National Single Window (NSW),” kata Adil Karim, Sekretaris ALFI Jakarta.
Mantan anggota tim Mini Lab Kemenkeu di era pemerintahan Presiden SBY untuk system logistic nasional (termasuk tim dwelling time), Adil mengemukakan dengan Virtualisasi Otomasi satu atap untuk pree-clearance tentunya ini yang harus di dorong dengan Keppres. Disamping itu Lampiran Dokumen untuk mengurus perijinan ( Lartas ) Seperti B/L bukan merupakan keharusan karena importir / pengguna jasa sudah pasti memiliki B/L yang terkadang dokumen B/L tersebut belum diterima dari rekanan di luar negeri, ini salah satu contoh penyederhanaan pengurusan perijinan disamping penyederhanaan regulasi.
Jika kementerian perhubungan dalam mengatasi dwelling time harus memaksakan dengan mengeluarkan kebijakan tariff progresif yang berlaku di 4 pelabuhan (Priok, Makassar, Belawan dan Perak), itu juga kurang tepat. Sebab, masalahnya bukan disitu. “Ini sudah menyangkut system, seharusnya lebih didorong koodinasi antar instansi/lembaga,” katanya.
Selain itu, ungkap pengurus Kadin ini, koordinasi antar instansi pemerintah (Bea Cukai, Karantina, Perdagangan, Perhubungan dsb) maupun pengguna jasa pelabuhan mesti juga disatukan dalam sebuah system layanan satu atap secara virtualisasi.
Selama ini, menurut Adil, penyelesaian importasi ada suatu ketergantungan, penyebabnya antara lain Esensi nomor BC 1.1 pada PIB itu sering agak lama diperoleh dari pelayaran, sehingga pada saat PIB ingin di-submit ke Inhouse bea cukai menjadi terkendala, walaupun dari Bea Cukai sudah ada kebijakan Pra Free notification untuk Non Jalur Prioritas. “Menunggu respon SPPB dari PIB jika terkena jalur kuning juga sulit diprediksi waktunya bisa memakan waktu 1 sampai 2 hari sehingga memberi kontribusi lamanya barang dikeluarkan dari lini I quay yard,” ungkapnya.
Adil juga menyatakan bahwa DO yang diterbitkan Agen Pelayaran pun memiliki durasi tanggal expired date sehingga jika terjadi kendala proses pengurusan dokumen yang lama maka freight forwarder harus kembali ke kantor perwakilan agen pelayaran untuk menerbitkan DO yang baru lagi dengan tanggal jatuh temponya dan akhirnya kontainer masih berlama-lama di lini I quay yard dan tentunya penambahan biaya penumpukan dengan tariff progresif. Padahal pada saat Tim Mini LabKemenkeu pembahasan dan rekomendasi kami salah satunya adalah DO online ( tahun 2014 dikeluarkan edaran oleh Dirjend Hubla pada saat itu Bobby Mamahit.) dan kami rekomendasikan juga e-payment untuk pembayaran di pelayaran sehingga bisa memangkas waktu Inap Container (Dwelling Time) ini merupakan salah satu tugas Kemenhub saat ini untuk mengumpulkan seluruh pelayaran / agentnya sehingga bersama-sama menyelesaikan Dwelling time yang saat ini justru di dorong menjadi 2,5untuk Tg.Priok dan 3.5hari untuk belawan, perak dan makasar.
Ketika SP2 diterbitkan maka untuk mengambil barang di lini I quay yard itu, freight forwarder/ PPJK harus memberikan dokumen SP2 kepada angkutan truk sehingga terkadang sulit juga dapat kepastian berapa lama / berapa jam truk bisa tiba untuk ambil Container yang sudah mengantongi SP2 di karenakan kemacetan dan sebagainya ( ini diperlukan perbaikan infrastruktur jalan dari dan ke pelabuhan ) supaya Post Clearancenya dapat tercapai dan tentunya importir juga harus di mapping mana yang suka mengendapkan container di pelabuhan dan mana yang benar2 kesulitan untuk mengeluarkan barang di pelabuhan akibat terkadang kesulitan mencari truk pengangkut.
Terkadang koordinasi tidak menunjukkan kekompakan sehingga truk sudah berada di pelabuhan sementara kontainer yang mau diambil masih di atas kapal (belum dibongkar/ ditempatkan di lini I quay yard) atau juga sebagian sudah dipindahkan ke TPS lini II.
Jika terjadi peralihan kontainer dari lini I quay yard ke TPS lini II di luar pelabuhan maka perubahannya ini tidak disampaikan kepada Forwarder atau supir truk pengangkut kontainer dan akhirnya kontainer berlama-lama di TPS dengan biaya demurrage cost progressive yang sama dengan hitungannya di lini I quay yard.
“Kalau hal itu dapat dikoornasi dengan tepat, hal itu barangkali bisa menjadi solusi dwelling time di pelabuhan,” kata Adil. (***)