International Maritime Organization (IMO) telah mengatur bahwa aspek keselamatan kapal yang berlayar internasiona yang meliputi konstruksi kapal, permesinan dan kelistrikan kapal, peralatan radio, perlengkapan keselamatan, pengawakan, dan keamanan tersebut diatur dalam Konvensi Safety of Life at Sea (SOLAS). Dan itu harus dipenuhi oleh semua kapal yang berasal dari negara anggota IMO.
Tetapi, aturan itu hanya berlaku bagi kapal dengan ukuran 500 GT atau lebih alias kapal yang melakukan pelayaran internasional. Pertanyaannya, bagaimana dengan kapal-kapal yang tidak berlayar internasional dan juga kapal-kapal dengan ukuran kurang dari 500 GT?.
Menurut pengamat kemaritiman dari ITS Surabaya Saut Gurning, bahwa ketentuan itu penetapannya sudah dilakukan sejak 2009 lalu, namun hingga sekarang belum diterapkan. Saut menyatakan, Ketentuan Standar Kapal Non Konvensi sebenarnya telah ditetapkan untuk diterapkan berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan KM.65/2009 tentang Standar Kapal Non Konvensi Berbendera Indonesia. Kemudian SK Dirjen Perhubungan Laut No. Um. 008/9/20/DJPL-12 tentang pemberlakuan Standard dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kapal Non Konvensi Berbendera Indonesia, dan telah diberlakukan untuk Kapal bangunan baru yang peletakan lunasnya dilaksanakan pada atau setelah tanggal 1 Januari 2014 dan Kapal bangunan lama yang jadwal pengedokannya dilaksanakan pada atau setelah tanggal 1 Januari 2013.
“Dengan berlakunya aturan tersebut maka pemilik kapal berbendera Indonesia jika kapalnya hanya
beroperasi di wilayah perairan Indonesia dapat menerapkan ketentuan NCVS sebagai pengganti aturan konvensi (solas, marpol, ICLL 1966). Sayangnya sampai saat ini belum diterapkan,” katanya kepada Ocean Week, Senin pagi ini (10/8).
Padahal, penerapan NCVS (Non-Convention Vessel Standards) tersebut, bisa menjadi solusi baru dimasa pendemi covid-19, dan bisa mendorong potensi pengembangan pelayaran nasional.
Mengingat Indonesia, memiliki lebih dari 51 ribu kapal non-konvensi, dengan tonase bruto (GT) kurang dari 500, standar kapal non-konvensi ini sangat dibutuhkan oleh Indonesia. Apalagi sesuai dengan aturan internasional, standar kapal non-konvensi ini diemban oleh negara bendera.
Saut Gurning menyatakan, standar non-Solas spesifik sesuai kondisi perairan sebenarnya sudah dilakukan banyak negara secara global. Termasuk di Korea Selatan, Jepang dan Vietnam yang masing-masing negara menerapkan aturan internasional dan domestik. Hal ini akibat dorongan dan tuntutan kepentingan perdagangan domestik masyarakat maritimnya.
“Indonesia mestinya dapat menerapkan pola yang sama. Saat ini aturan keselamatan pelayaran nasional
masih dominan merujuk persyaratan internasional. Walau dengan kondisi perairan yang berbeda dan juga tingkat kesulitan yang tinggi. Akibatnya banyak yang tidak menerapkan dan berdampak pada cukup frekuentifnya tingkat kecelakaan pelayaran,” ujarnya.
Saut menegaskan bahwa pola angkutan domestik kita perlu didukung oleh aturan nasional (NCVS) akibat banyaknya wilayah perairan dalam (pantai, sungai dan danau) yang tentu aplikasi dan kebutuhannya
berbeda untuk perairan internasional.
“Idealnya, pola distribusi perdagangan Indonesia yang 60:40 secara volume baik kargo dan kuantitas kapal (aras domestik 60% dan internasional 40%) didukung oleh penerapan NCVS (60%) dan CVS – convention standard (40%). Namun keduanya tetap dipertahankan level, budaya dan pengawasan untuk menjaga kelaiklautan armada kargo, penumpang dan perikanan Nasional,” ungkap Saut.
Penerapan NCVS di Indonesia, akan memberi manfaat bagi ekonomi maritim Indonesia. Kata Saut penerapan itu memberikan potensi rasionalisasi biaya operasi armada angkutan laut nasional
khususnya yang melayani rute dalam negeri dan perairan dalam Indonesia. Lalu tingkat keselamatan pelayaran terkait konstruksi kapal, permesinan, peralatan navigasi dan keselamatan tetap dapat diperhatikan dan dipertahankan untuk kelaiklautan kapal.
Selain itu, memberikan ruang pemulihan bagi entitas pelayaran nasional di tengah beban tingginya biaya dan rendahnya permintaan angkutan laut nasional akibat covid-19. Mendorong potensi pengembangan industri lokal terkait berbagai peralatan komponen kapal bagi galangan kapal dan industri komponen dalam negeri. Membuka peningkatan keterlibatan dan pengembangan SDM serta pendidikan
kemaritiman yang lebih fokus pada kebutuhan perairan Indonesia baik di pesisir, sungai dan danau. Juga level pembiayaan angkutan laut lebih rasional dan berpotensi mendorong semakin menurunnya biaya logistik angkutan laut dan harga komoditas nasional yang diangkut lewat angkutan laut/perairan domestik.
Saut Gurning menyayangkan Implementasi di lapangan terkait NCVS masih belum maksimal karena kesulitan penerapan berbagai wilayah perairan yang berbeda. “Lain lagi dengan penerapan CVS (berbasis IMO) relatif sulit dipenuhi disini karena diperkirakan terlalu tinggi dan tidak sesuai kondisi perairan Indonesia. Dan lebih cocok untuk perairan internasional. Kemudian belum adanya integrasi antara regulator dan entitas usaha (pemilik kapal dan operator kapal) untuk realisasi penerapan NCVS. Belum berjalannya forum pakar yang diusulkan dalam SK Dirjen dan Juknis implementasi NCVS. Keterlibatan SDM, perguruan tinggi dan asosiasi pelayaran dan entitas maritim daerah belum maksimal dilibatkan,” kata Saut panjang lebar.
Disamping itu, pemerintah juga belum memberikan otorisasi kepada suatu organisasi yang diakui (recognised organised, ke Balai Teknologi Keselamatan Pelayaran? BKI? Klas Lainnya?) melakukan survey
untuk memenuhi berbagai persyaratan NCVS. Kemdian belum kuatnya respon masyarakat maritim akibat informasi dan edukasi yang kurang terkait NCVS.
Untuk itu, Saut memberi rekomendasi penerapannya antara lain Penerapan di berbagai wilayah awalan (role-model ) aturan NCVS yang telah diadaptasi dengan kondisi operasi dan lokasi pelayaran di sungai, danau dan penyeberangan di Indonesia. Dibuat percontohan awal di Jawa Timur, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Danau Toba, Kalimantan Selatan atau Sumatera Selatan.
“Penerapan adaptasi aturan NCVS terkait konstruksi kapal sesuai dengan kondisi serta pola operasi
di sungai, danau dan penyeberangan. Penggerak mesin utama dan mesin bantu kapal yang sesuai dengan kondisi operasi pelayaran di sungai, danau dan penyeberangan. Lalu peralatan navigasi kapal yang dibutuhkan untuk operasi dan kondisi pelayaran di sungai, danau dan penyeberangan. Peralatan listrik kapal yang dibutuhkan untuk operasi dan kondisi pelayaran di sungai, danau dan penyeberangan. Peralatan keselamatan kapal untuk para penumpang armada pelayaran di sungai, danau
dan penyeberangan. Juga persyaratan awak kapal untuk armada pelayaran di sungai, danau dan penyeberangan,” ucapnya.
Saut juga memberikan rekomendasi dimasa medatang dengan mengadaptasi peraturan NCVS sesuai dengan kondisi perairan dan armada kapal di wilayah operasi danau, sungai dan penyeberangan di
Indonesia (tidak generalis, lebih spesialis & dinamis). “Proses adaptasi (penyesuaian bersama) difokuskan pada persyaratan Konstruksi Kapal, Penggerak mesin utama dan mesin bantu kapal, Peralatan navigasi kapal, Peralatan listrik kapal, dan Peralatan keselamatan kapal,” ungkapnya. (***)