Pemerintah mengeluarkan kebijakan dan akan memberlakukan de minimus bagi kiriman barang.
Menyikapi rencana pemberlakuan nilai khusus De minimis bagi kiriman barang yang akan diterapkan Pemerintah, Wakil ketua umum bidang Supply Chain, e-commerce dan multimoda Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Logistik & Forwarder Indonesia (DPP ALFI), Trismawan Sanjaya menyatakan perkembangan transaksi perdagangan melalui sistem Elektronik (PMSE) yang pada kenyataannya masih tetap di dominasi oleh produk impor dan hampir sebagian besar juga platform belanja on line sudah dikuasai pemodal luar negeri maka sudah begitu banyak memberikan pembelajaran baru bagi kita semua antara lain semakin marak kasus splitting, defisit neraca perdagangan melalui sistem elektronik, semakin lemahnya daya saing produk Nasional bersaing di Pasar global, dan lemahnya jaminan konsumen terhadap kualitas produk.
Karena itu, DPP ALFI sudah sejak awal mengusulkan untuk menghapus konsep de minimus atas barang belanja impor melalui on line (PMSE) dimana semua barang impor melalui belanja online dikenakan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor sesuai ketentuan umum.
“Jika diamati penerapan de minimus sejak awal hanya berlaku untuk barang bawaan penumpang lebih cocoknya,” katanya.
Sementara itu Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyambut baik kebijakan baru pemerintah yang akan menyesuaikan nilai pembebasan (de minimis) atas barang kiriman dari sebelumnya US$75 menjadi US$3 per kiriman (consignment note) untuk bea masuk.
Sementara pungutan pajak dalam rangka impor diberlakukan normal atau tidak ada batas ambang bawah (de minimis) dan rasionalisasi tarif ditetapkan dari semula (sesuai PMK No.112/PMK.04/2018) total kisaran 27,5%-37,5% (Bea Masuk 7,5%, PPN 10%, PPh 10% dengan NPWP atau PPh 20% tanpa NPWP) menjadi ± 17,5% (Bea Masuk 7,5%, PPN 10%, PPh 0%).
Wakil Ketua Umum Kamar Kadin Bidang Moneter, Fiskal dan Kebijakan Publik, Raden Pardede mengungkapkan bahwa Kadin mendukung kebijakan tersebut karena pemerintah telah mendengar masukan dari dunia usaha mengenai semakin meningkatnya impor barang kiriman melalui platform e-commerce yang dikhawatirkan akan mengganggu industri nasional, terutama Industri Kecil dan Menengah (IKM).
Kebijakan tersebut, ungkap Raden, diharapkan dapat menciptakan perlakuan yang adil dalam perpajakan atau level playing field antara hasil produksi dalam negeri yang produknya mayoritas berasal dari IKM dan dikenakan pajak dengan produk-produk impor melalui barang kiriman serta impor distributor melalui kargo umum yang masih banyak beredar di pasaran.
“Kebijakan ini menciptakan perlakuan perpajakan yang adil dan melindungi industri kecil dan menengah dalam negeri,” katanya.
Pihaknya juga berharap agar IKM Indonesia juga dapat memanfaatkannya untuk memperbaiki diri meningkatkan daya saing dan bukan untuk dilakukan proteksi terus menerus.
Sebagai informasi, berdasarkan catatan dokumen impor, sampai saat ini e-commerce melalui barang kiriman di Tanah Air mencapai 49,69 juta paket pada tahun 2019 meningkat tajam dari sebelumnya yang hanya sebesar 19,57 juta paket pada tahun 2018.
Kiriman 6,1 juta paket pada 2017 mengalami peningkatakan sebesar 254% jika dibanding dengan tahun 2018 dan juga meningkat 814% pada 2018 jika dibandingkan dengan 2017.
Karena derasnya impor, beberapa sentra-sentra pengrajin tas dan sepatu banyak yang gulung tikar dan hanya menjual produk jadi dari Tiongkok. Untuk itu, dalam aturan baru ini pemerintah melalui Kementerian Keuangan juga secara khusus membedakan tarif atas produk tas, sepatu, dan garmen.
Karena itu, khusus untuk tiga komoditi tersebut, tetap diberikan de minimis untuk bea masuk sampai dengan US$3 dan selebihnya diberikan tarif normal (MFN) yaitu, Bea Masuk untuk tas 15% – 20%, sepatu 25% – 30%, produk tekstil 15% – 25%, masing-masing dengan PPN 10% dan PPh 7,5% – 10%.
Sedangkan Ketua Komite Tetap Perdagangan Kadin Indonesia, Tutum Rahanta, mengatakan bahwa ini merupakan tanggapan positif pemerintah yang telah menerima usulan dari dunia usaha, untuk menyelamatkan IKM yang terimbas dari impor barang melalui e-commerce.
“Ya inilah bukti nyata dari Kementerian Keuangan yang melindungi kita dengan kebijakan ini. Kami sangat mengapresiasinya, mudah-mudahan IKM kita dapat membanjiri konsumen kita sendiri,” ujar Tutum.
Sementara itu, Wakil Ketua Komite Tetap Perpajakan Kadin Indonesia, Herman Juwono juga berpendapat bahwa kebijakan baru tersebut akan mendorong pebisnis di bidang e-commerce untuk mendaftarkan diri sebagai wajib pajak dan memiliki NPWP. Kebijakan tersebut merupakan kebijakan untuk memperluas ekstensifikasi wajib pajak.
Selama ini, kata dia, bisnis di bidang e-commerce baru membayar pajak sekitar 20% dari total keseluruhan kegiatan perdagangan melalui e-commerce.
“Diharapkan penerimaan dari sektor bea masuk dan pajak impor tersebut nantinya dapat meningkat untuk penerimaan negara,” tutup Herman. (***)