Salah satu gagasan visioner Presiden Jokowi yang menjadi arus utama kebijakan pembangunan Kabinet Kerja yang dipimpinnya adalah menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD). Yakni Indonesia yang maju, adil-makmur, kuat dan berdaulat melalui pendayagunaan SDA dan jasa-jasa lingkungan (environemntal services) kelautan secara efisien, produktif, adil, dan berkelanjutan (sustainable); dan secara simultan membangun kekuatan Hankam dan budaya maritim bangsa.
Kenyataannya, sudah hampir 72 tahun merdeka, status Indonesia masih sebagai negara berkembang berpendapatan-menengah bawah (low-middle income country) dengan PDB perkapita hanya sekitar 4.000 dolar AS, dan kapasitas IPTEK hanya kelas-3. Padahal, suatu negara-bangsa bisa dinobatkan sebagai negara-bangsa yang maju dan makmur, bila PDB perkapitanya di atas 11.750 dolar dan kapasitas IPTEK-nya berada pada kelas-1 (Bank Dunia, 2012, dan UNESCO, 2010).
Yang lebih mencemaskan, tingkat pengangguran dan kemiskinan masih tinggi. Termasuk kesenjangan antara kelompok penduduk kaya vs miskin sangat lebar, disparitas pembangunan antar wilayah (Jawa vs luar Jawa, dan desa vs kota) sangat tinggi, dan daya saing serta IPM (Indeks Pembangunan Manusia) masih rendah.
Sekarang, jumlah pengangguran terbuka dan setengah menganggur mencapai 40 juta orang (30 % total angkatan kerja), dan rakyat yang miskin versi BPS sekitar 27,8 juta (10,7 % total penduduk) atau 120 juta jiwa (47% total penduduk) versi Bank Dunia. Jurang antara kelompok kaya vs miskin juga mengerikan.
Bayangkan, 1 % orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 % total kekayaan negara ini (Credit Suisse, 2016), dan 4 orang terkaya Indonesia memiliki total kekayaan 25 miliar dolar AS (Rp 335 triliun) yang setara dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (Oxfam, 2017). Tingginya pengangguran dan kemiskinan itu tak pelak telah menyebabkan sekitar 38 % total anak usia di bawah 15 tahun menderita gizi buruk khronis, dan sekitar 8,8 juta anak balita kita menderita stunting growth (bertubuh pendek).
Kosenkuensinya, fisik mereka lemah dan kecerdasan pun rendah. Bila tidak diperbaiki secara revolusioner, kita bakal mewariskan generasi masa depan yang lemah dan rendah produktivitas serta daya inovasinya (a lost generation).
Oleh sebab itu, semua sektor pembangunan, khususnya sektor-sektor di bawah koordinasi Kemenko Perekonomian dan Kemenko Maritim, harus bahu-membahu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (di atas 7 persen/tahun) dan berkualitas. Termasuk membuka kesempatan kerja baru, meningkatkan daya saing sektornya masing-masing, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat yang menjadi tanggung jawabnya secara berkelanjutan.
Keadaan Perikanan
Sayangnya, hampir semua kebijakan dan regulasi yang digulirkan KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) sejak November 2014 justru telah menghambat, bahkan menghancurkan kehidupan mayoritas nelayan, pembudidaya ikan, pengolah dan pedagang hasil perikanan. Sejumlah regulasi terkait dengan sub-sektor perikanan tangkap, mulai dari Permen KP No. 56/2014, Permen KP No. 57/2014, Permen KP No. 2/2015, PP No. 75/2015 sampai Peraturan Dirjen, Perikanan Tangkap No. 1/2016 telah menyebabkan ribuan kapal ikan tidak beroperasi dan sebagian telah jadi besi tua.
Tidak kurang dari 15 pabrik surimi di sepanjang Pantura gulung tikar, kapasitas pabrik pengolahan ikan di sejumlah sentra industri perikanan (seperti Ambon, Bitung, Kendari, Benoa, Muara Baru, dan Belawan) kini hanya terpenuhi kurang dari 20 persen, dan ratusan ribu nelayan dan karyawan pabrik pengolahan hasil perikanan. Berbagai regulasi terkait perikanan budidaya, terutama Permen KP No. 57/2014 dan Permen KP No. 1/2015 telah menyebabkan usaha budidaya dan perdagangan ikan kerapu, lobster, kepiting soka, dan rajungan mati suri.
Puluhan ribu pembudidaya dan pedagang keempat komoditas perikanan primadona ini pun menganggur dan jatuh miskin. Terpangkasnya kinerja dan meningkatnya jumlah pengangguran di sub-sektor perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan industri pengolahan hasil perikanan itu juga berdampak negatip terhadap sektor-sektor ekonomi lain yang terkait, seperti jasa transportasi, restoran, perhotelan, perbelanjaan (pasar swalayan), dan jasa keuangan.
Muara dari dampak negatif sejumlah kebijakan KKP itu adalah pada penurunan nilai ekspor, penerimaan pajak dan PNBP (Pendapatan Bukan Pajak) perikanan. Pada 2014 nilai ekspor perikanan Indonesia sebesar 3,8 miliar dolar AS, lalu menurun menjadi 2,7 miliar dolar AS pada 2015, dan 2,9 milyar dolar AS pada 2016. PNBP pada 2014 sebesar Rp 380 miliar, menjadi hanya Rp 77 miliar pada 2015, dan meningkat lagi menjadi Rp 300 miliar pada 2016. Pajak dari sektor perikanan masih sangat kecil, sekitar 0,1 % dari total penerimaan pajak nasional.
Kebijakan dan regulasi dari KKP yang tidak pro pertumbuhan ekonomi dan tidak pro kesejahteraan nelayan dan masyarakat perikanan lainnya itu telah menimbulkan gelombang demonstrasi puluhan ribu nelayan, pembudidaya ikan, pengolah dan pedagang hasil perikanan di Jakarta, Pantura, dan daerah lainnya sejak Maret 2015 sampai sekarang. Menyerap asiprasi segenap stakeholders perikanan tersebut, akhirnya Presiden Jokowi pada 22 Agustus 2016 mengelurakan Inpres (Instruksi Presiden) tentang ”Percepatan Pembangunan Industri Kelautan dan Perikanan Nasional”.
Isi utama dari Inpres ini menginstruksikan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk mengevaluasi dan memperbaiki seluruh kebijakan dan regulasi nya yang telah menghambat investasi dan bisnis di bidang perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan industri pengolahan hasil perikanan. Malangnya, sampai sekarang KKP tetap pada pendiriannya. Sehingga, ratusan sampai ribuan kapal ikan di sentra kawasan industri perikanan Muara Baru, Jakarta; Beno; dan Bitung pun melakukan aksi mogok.
Sampai sekarang, tidak ada kepastian solusi yang saling menghargai dan saling menguntungkan. Yang muncul justru saling curiga antara KKP dengan nelayan, pembudidaya, dan pengusaha perikanan.
Jalan keluar
Dalih KKP mengeluarkan semua regulasi yang mematikan industri dan perikanan di atas adalah dalam rangka untuk menjamin keberlanjutan (sustainability) sumber daya ikan. Semua stakeholders perikanan tentu mendukung penuh upaya KKP untuk pelestarian sumber daya ikan. Akan tetapi, bukan dengan cara moratorium seluruh pukat hela dan pukat tarik, membakar kapal, melarang perdagangan benih lobster, dan larangan lainnya, tanpa alternatif solusi.
Padahal, esensi dari perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries) adalah suatu konsep pembangunan perikanan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan berkualitas. Tidak ketinggalan mensejahterakan seluruh stakeholders perikanan secara adil, dan memelihara keberlanjutan sumber daya ikan beserta ekosistemnya.
Atas dasar konsep pembangunan perikanan berkelanjutan dan permasalahan bangsa di atas, maka KKP mesti merevisi sejumlah kebijakan dan regulasi yang terlalu bias pada pelestarian sumber daya ikan. Juga tanpa mengindahkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan, pengolah dan pedagang hasil perikanan.
Di sub-sektor perikanan tangkap, kapal-kapal buatan luar negeri (ex-asing) yang memang sudah menjadi milik pengusaha nasional harus segera diizinkan untuk beroperasi kembali. Cantrang dan pukat hela serta pukat tarik lainnya tidak semestinya dilarang total. Tetapi, dikurangi saja jumlahnya di wilayah-wilayah perairan yang sudah overfishing, ukuran mata jaringnya diperbesar, dan cara operasinya jangan sampai di dasar perairan.
Pelarangan transhipment mestinya hanya untuk para nelayan Indonesia yang menjual ikannya kepada kapal pengumpul asing di tengah laut. Akan tetapi, untuk kapal pengangkut ikan dalam satu kelompok usaha penangkapan ikan, dan membawa ikannya ke pendaratan ikan/pelabuhan perikanan di NKRI harus diizinkan. Demikian juga, kapal pengangkut ikan hidup seperti kerapu dan lobster.
Wilayah-wilayah perairan laut yang masih underfishing dan selama ini ikannya dicuri (illegal fishing) oleh nelayan asing, harusnya ditambah jumlah armada kapal ikan nasionalnya. Penambahan ini bisa berasal dari kapal-kapal ikan yang selama ini beroprasi di wilayah-wilayah perairan laut yang telah overfishing seperti Utara Jawa, Selatan Sulawesi, dan Selat Malaka. Atau dari kapal-kapal ex-asing yang sudah clean and clear.
Dengan demikian, ekonomi perikanan tangkap akan bergairah kembali, pabrik-pabrik pengolahan hasil perikanan akan mendapatakan bahan baku yang cukup, dan kita tidak perlu impor ikan. PP No.75/2015 tentang tarif pungutan hasil perikanan yang sangat memberatkan pengusaha perikanan juga sebaiknya ditinjau ulang dengan didahului musyawarah antara KKP dan para pengusaha.
Di sub-sektor perikanan budidaya, perlu revisi Permen No. 1/2015 sehingga usaha budidaya kepeting soka dan lobster bisa bangkit lagi. Demikian juga halnya tentang larangan kapal pengangkut ikan kerapu hidup, yang telah membuat usaha budidaya kerapu mati suri. Pasalnya, harga jual ikan kerapu hidup mencapai Rp 2 juta/kg, tetapi kalau dijual dalam bentuk beku atau segar, hargaya hanya Rp 100.000 sampai Rp 200.000/kg. (penulis Prof. DR. Rokhmin Dahuri, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB)