INSA Tanjung Priok setuju bahwa petikemas yang diserahkan kepada pengguna jasa harus laik laut. Karena kelaik lautan petikemas menjadi tangung jawab pelayaran, sehingga maintenance-nya juga menjadi tanggung jawab pelayaran, termasuk penunjukan surveyor sebagai wakil dari pada anggota IACS (International Association of Classification Societies).
“IACS atau Asosiasi Biro Klasifikasi Internasional itu sudah diketahui oleh Kemenhub. Jadi IACS yang memberi penilaian bahwa petikemas itu laik laut, dan kemudian merekalah (anggota IACS) yang berwenang untuk mereview kelaikan laut petikemas tersebut. Jadi kalau BKI ditunjuk untuk menjadi surveyor kelayakan petikemas, rasa-rasanya masih belum, mengingat BKI belum masuk ke IACS,” kata Capt. Supryanto, Sekretaris DPC INSA Jaya kepada Ocean Week, kemarin sore di Jakarta Utara usai rapat pengurus, menanggapi rencana pemberlakuan PM 53 tahun 2018 mengenai kelaikan petikemas dan berat kotor petikemas terverifikasi, dan Kemenhub menunjuk BKI sebagai surveyornya.
Menurut Capt. Supriyanto, bahwa petikemas-petikemas yang telah dinyatakan laik laut tersebut dapat dlihat di dalam CSC Plate, sehingga yang berwenang untuk mereview kelaikan laut petikemas tersebut adalah biro klasifikasi yang bersangkutan.
Supriyanto yang didampingi pengurus DPC INSA Jakarta seperti Munif (ketua bidang hukum), Bambang Sumaryono (wakil ketua), Banu Amza (ketua bidang pelabuhan Marunda), dan Andre Ben Line (ketua kepelabuhanan) menyatakan, sepengetahuannya belum ada petikemas baru yang berlogo dari BKI yang didaftarkan. “Mungkin saya salah terhadap ini, apalagi BKI belum terdaftar di IACS,” ungkapnya lagi.

Jadi, kata Supriyanto, BKI dapat melakukan penilaian kelaikan laut petikemas, mesti atas dasar otorisasi dari klasifikasi terkait untuk kontainer trade international. “Tapi BKI sendiri belum terdaftar di IACS, bagaimana itu,” ucapnya sembari bertanya.
Meski begitu, INSA Jaya sangat mengapresiasi rencana pelaksanaan PM 53 tahun 2018.
Sebelumnya, Asosiasi Depo Kontainer Indonesia (Asdeki) dan GINSI juga mengapresiasi positif terhadap rencana implementasi peraturan menteri perhubungan no. PM 53 tahun 2018 mengenai kelaikan petikemas dan berat kotor petikemas terverifikasi, yang digunakan untuk kegiatan sarana angkutan barang di pelabuhan.
Ginsi mengaku tidak masalah dengan PM 53 itu, asalkan beban biaya yang nantinya muncul tidak dibebankan importir, karena pihaknya hanya sebagai pengguna dari kontainer itu.
“Kami pasti tolak kalau biaya yang muncul nanti importir yang nanggung,” kata Ketua Ginsi Jakarta, Capt. Subandi.
Di tempat lain, Asmari Herry (Direktur Samudera Indonesia Shipping) mengungkapkan, kalau pelayaran yang harus bayar terhadap konsekuensi surveyor petikemas itu, mestinya tidak harus menggunakan BKI, karena kontainer tadi sudah dilengkapi sertifikat laik pakai dari pabrik pembuat kontainernya. “Berarti ada duplikasi biaya, apalagi tidak sesuai dengan best practise sebagaimana terjadi diluar Indonesia,” kata Asmari Herry.
Asmari juga menyatakan, apakah ini ada kepentingan bisnis atau tidak pada saat mengusulkan labelling, apalagi penunjukan BKI. “Kenapa mesti BKI, ini juga sedikit bertentangan dengan spirit mengurangi biaya karena rencana labelling ini pasti akan timbul biaya tambahan, tinggal siapa yang akan tanggung biayanya. Kalau perusahaan surveyor akan senang karena ada captive income, ” katanya.
Sedangkan Sekjen Asdeki Khairul Mahalli mengungkapkan, bahwa PM 53/2018 itu menjadi rancu dengan PM 83 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Depo Petikemas. “Dalam PM 83/2016 menyebutkan bahwa repo/perbaikan kontainer, penilaian kalaikan kontainer ada pada usaha depo, tapi pada PM 53/2018 ada lembaga surveyor yang menilai kelaikan kontainer. Jadi bagaimana dengan usaha depo, apa tidak overlap,” katanya,
Kata Khairul, PM 53/2018 bisa saja mengkerdilkan peran usaha depo petikemas. “Tapi, kita lihat saja bagaimana pelaksanaannya nanti, karena saya yakin pasti tidak mudah dalam pelaksanaannya, karena jika ternyata kontainer yang beredar di Indonesia ini banyak yang tak laik, kegiatan perekonomian nasional bisa terganggu,” ungkapnya.
Sebelumnya, Kepala Otoritas Pelabuhan (OP) Priok Hermanta menyatakan bahwa kelaikan petikemas yang berada di Indonesia ini sangat diperlukan. “Nantinya BKI sebagai lembaga surveyornya. Dan kalau kontainer yang nanti ada disini dinyatakan tak laik, mesti reekspor atau dikembalikan lagi. Pemerintah mestinya juga membuat sangsinya,” katanya.
Setelah PM 53 dilaksanakan, ujar Hermanta, pihaknya akan benar-benar mengawasi secara ketat, karena jika terjadi pelanggaran, dapat dikenai sangsi hukum. Bukan saja pihaknya saja yang terkena sangsi hukum, namun juga semua pihak yang terlibat. (ow/**)