Indonesia National Shipowners Association (INSA) Semarang secepatnya akan membicarakan dengan asosiasi depo petikemas Indonesia (Asdeki) Semarang, soal mahalnya biaya repair kontainer yang ditagihkan oleh depo petikemas kepada importir untuk repair kontainer yang dikeluhkan GINSI Jateng.
“INSA Semarang akan mengadakan pembicaraan dengan ASEDKI guna memperoleh informasi yang berimbang mengenai keluhan itu,” ujar Hari Ratmoko, ketua INSA Semarang kepada Ocean Week, Senin pagi.
Seperti diketahui bahwa ketua GINSI Jateng Budiatmoko mengeluhkan mahalnya biaya repair kontainer dari depo yang mencapai Rp 700 ribu per kontainer. Padahal, dia mengaku tak pernah mengetahui apakah kontainer itu rusak atau tidak, karena tak pernah ada laporannya, dimana kerusakannya.
Hari juga mengaku tak mengetahui adanya biaya semahal itu, karena selama ini tarif repair ditentukan oleh pemilik container. Dan kenapa biaya repair kontainer yang menanggung importir dan bukan pelayaran, karena ungkap Hari, kontainer yang digunakan exporter/importer sifatnya dipinjamkan oleh pemilik container, sehingga jika ada kerusakan biaya repair ditanggung oleh penggunanya.
“Pemilik kontainer sebenarnya sudah mengasuransikan kontainernya guna melindungi kepentingan pemilik kontainer,” kata Hari.
Sebelumnya, Gabungan importir nasional seluruh Indonesia (GINSI) Jawa Tengah (Jateng) mengeluhkan mahalnya biaya repair kontainer pada sejumlah depo petikemas di Semarang, yang ditagihkan kepada pengguna jasanya (importir).
Hal itu diungkapkan Budiatmoko, Ketua GINSI Jateng didampingi Yudhi Panca (Sekretaris) kepada Ocean Week, di kantornya, Kamis sore.
“Saya mengalami sendiri, satu kontainer dengan alasan kena repair ditagih Rp 700 ribu, belum termasuk ongkos lift on lift of, dan lainnya,” ujar Koko (panggilan akrab Budiatmoko).
Menurut Koko, pihaknya hanya ingin tau apa dasar nya depo petikemas mengenakan biaya semahal itu, padahal pengguna jasa tidak pernah diberi tau dimana kerusakan kontainer sehingga harus dikenai biaya semahal itu.
“Kita nggak pernah tau, siapa yang mensurvey sehingga kontainer dinyatakan rusak dan harus diperbaiki. Setahu saya, yang survey juga dari orang depo, makanya ini perlu ditertibkan oleh pihak berwenang, karena mereka (depo) semau-maunya menarik biaya,” jelasnya lagi.
Mestinya, kontainer yang masuk ke depo itu menjadi urusan shipping line, bukan importir. “Karena kita nggak ngerti, kan setelah kontainer keluar dari pelabuhan, kemudian barang dibawa ke gudang penerima (importir), lalu kontainer empty itu dibawa ke depo, dan disitulah pengelola depo kemudian menyatakan bahwa kondisi kontainer harus di repair, dan muncullah biaya-biaya itu yang dirasa memberatkan importir,” ungkap Koko.
Koko hanya ingin ada keterbukaan dari pengelola depo mengenai hal itu.
“GINSI minta supaya Asdeki menertibkan anggotanya di Semarang mengenai hal ini, kalau nggak kami akan persoalkan sebagai pungutan liar, karena tak adanya kesepakatan tarif,” ujarnya.
Koko berharap, pemerintah serius bisa menertibkan pada perusahaan depo bakal yang melakukan praktik semaunya sendiri. “Kalau perlu depo yang melakukan praktik nakal itu dibekukan,” katanya. (**)