Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, pada Rapat Paripurna DPR ke-8 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024-2025, di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, Senin (30/9).
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyambut baik pengesahan perubahan tersebut.
Budi Karya Sumadi berharap perubahan tersebut akan mampu mewujudkan penyelenggaraan pelayaran yang lebih berdaulat dan berkeadilan, menciptakan biaya logistik yang lebih efektif dan efisien, serta memantapkan ketahanan nasional sebagai bagian dari sistem transportasi nasional.
Menurut Menhub, perubahan tersebut juga nantinya akan memperkuat pemberdayaan pelayaran rakyat dan penerapan asas cabotage.
“Semua itu dapat terwujud melalui pemberdayaan pelayaran rakyat, penguatan asas cabotage, pengaturan kewajiban pelayanan publik, pemberian fasilitas pembiayaan dan perpajakan untuk pemberdayaan industri angkutan di perairan dan industri perkapalan, serta penyederhanaan birokrasi di bidang kepelabuhanan,” ungkapnya.
Sebagaimana diketahui, DPR berinisiatif menyampaikan RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran kepada Presiden melalui surat Nomor B/7517/LG.01.01/7/2024 pada 4 Juli 2024.
Kemudian, pemerintah melakukan penyusunan pandangan melalui Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dengan melibatkan kementerian/lembaga dan stakeholder terkait meliputi pelaku usaha, asosiasi, akademisi, serta praktisi.
“Saat ini UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran telah berusia 16 tahun, sehingga diperlukan penyempurnaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman,” jelas Budi Karya.
Selanjutnya, pemerintah menyampaikan DIM RUU Pelayaran melalui surat Presiden kepada Ketua DPR RI Nomor R-40/Pres/09/2024 tanggal 5 September 2024, yang di dalamnya juga menugaskan Menhub sebagai leading sector bersama Menteri Pertahanan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Keuangan, Menteri Kelautan dan Perikanan, serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sebagai wakil pemerintah.
Berdasarkan hasil pembahasan panitia kerja pada 23 dan 24 September 2024, terdapat 67 angka perubahan RUU Pelayaran dengan total 71 pasal yang memuat beberapa materi muatan baru maupun perubahan yang disepakati.
Perubahan tersebut antara lain penguatan regulasi pemberdayaan angkutan laut pelayaran rakyat, pengaturan kewajiban pelayanan publik, penguatan asas cabotage melalui pengaturan usaha patungan angkutan di perairan, pengaturan usaha jasa terkait sebagai usaha patungan, pemberian fasilitas pembiayaan dan perpajakan untuk pemberdayaan industri angkutan di perairan dan industri perkapalan.
Selain itu mengikutsertakan asosiasi penyedia jasa dan asosiasi pengguna jasa dalam penentuan besaran tarif jasa kepelabuhan yang diselenggarakan oleh badan usaha pelabuhan, tata kelola pendaftaran kapal usaha patungan (joint venture).
Kemudian, tata kelola pelimpahan pemanduan dan pengaturan terkait penggunaan kapal tunda dalam pemanduan, penyederhanaan birokrasi di bidang kepelabuhanan, serta fungsi pengawasan pelayaran.
Pada rapat yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani, turut hadir Pimpinan Komisi V DPR Ridwan Bae, perwakilan Menteri Pertahanan, perwakilan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, perwakilan Menteri Keuangan, perwakilan Menteri Kelautan dan Perikanan, serta perwakilan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Pesanan
Sementara itu, pengamat kemaritiman nasional Capt. Zaenal A. Hasibuan melihat bahwa revisi UU 17 tahun 2008 tentang Pelayaran dengan akan dicabutnya pasal 1(59) dan pasal 266, menurut Zaenal hal itu bukan usulan DPR atau Pemerintah tapi adalah pesanan salah satu lembaga keamanan tertentu.
“Kita sama-sama tau bahwa pada 1 Maret 2022 Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah nomor 13 tahun 2022. Lalu pada 15 dan 16 Juni 2023 Kementerian KKP mengusulkan revisi UU 32 untuk bisa mengakomodir Bakamla menjadi Coast Guard Indonesia yang Gagal dilakukan karena didalamnya memuat perubahan UU 17. Nah, sekarang secara sendirian seakan tidak ada campur tangan Bakamla akan ada revisi terhadap UU 17 lagi yang isinya sebenarnya sama saja, yaitu Pelemahan KPLP yang berimbas membuat UU 17 sendiri menjadi UU yang isinya bertentangan antara pasal dengan pasal lainnya termasuk dengan pasal penjelasannya,” jelasnya panjang lebar.
Sayangnya, ujar Capt. Zaenal, Pemerintah dan DPR yang mengiyakan hal itu. “Jadi menurut saya, ini adalah pesanan lembaga keamanan tertentu,” ungkapnya.
Menurut dia, hal ini merupakan jurus yang sama dengan yang dilakukan pada 10 tahun lalu. “Tiga hari sebelum SBY (presiden Soesilo Bambang Yudhoyono waktu itu) habis masa jabatannya, lalu muncul UU 32. Lalu belum genap 2 bulan Presiden Jokowi jadi presiden muncul Perpres 178. “Sekarang UU 17/2008 tentang Pelayaran direvisi 3 minggu sebelum Jokowi selesai masa jabatannya, nanti giliran Presiden Prabowo yang merevisi UU 32 segera setelah dilantik, dan jadilah itu barang,” sindir Capt. Zaenal.
Zaenal juga mengungkapkan, setelah revisi ini dilaksanakan, jika terjadi pelanggaran berganda diatas kapal niaga (sebutlah kapal salah navigasi dan menabrak terumbu karang), maka karena ada pidana lingkungan hidup, malah yang maju hanya KLH. Sementara pelanggaran navigasi tidak ada yang tangani, dan kemungkinan yang menangani adalah yang senjatanya lebih banyak bukan yang memiliki kompetensi absolut soal navigasi.
Pemerhati angkutan laut nasional Tjuk Sukardiman menyebut kalau implementasi UU Pelayaran selama ini “Morat Marit”, makanya perlu dilakukan perubahan terhadap UU Pelayaran.
“Tapi mestinya perubahan itu juga harus tak merugikan usaha swasta sektor manapun,” kata mantan Dirjen Hubla era Menhubnya Agum Gumelar.
Sementara itu, mantan Kabais Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, menyampaikan akan melakukan judicial review jika perubahan dalam UU Pelayaran tersebut tak sesuai. “Saya sudah sepakat dengan Pak Lukman (Lukman Lajoni, pengusaha pelayaran) akan melakukan judicial review, begitu UU Pelayaran disahkan tapi revisi itu melenceng dari harapan,” tegasnya.
Ketua umum ALFI Akbar Djohan yang dihubungi untuk dimintai tanggapannya melalui WhatsApp nya, mengenai pengesahan Undang-undang Pelayaran tersebut, belum memberi jawaban.
Begitu pula dengan Sekjen APBMI capt Korompis juga belum memberi jawaban. (***)