Untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim, diperlukan Undang-undang (UU) Maritim, karena jika hanya merujuk pada UU no. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, dirasa belumlah cukup.
Apalagi jika menyangkut pada masalah hukum yang dihadapi disektor kemaritiman, masih sangat ruwet. “Masalah hukum di kemaritiman Indonesia perlu dibicarakan lagi, terutama pada Arrest of Ships yang belum ada petunjuk pelaksanaannya (Juklak)-nya,” kata Pakar Hukum Maritim, Chandra Motik pada acara diskusi “Mewujudkan Semangat Maritim” yang diprakarsai Ocean Week, bertempat di Jakarta Utara, Rabu (18/7).
Chandra menyatakan, apakah perlu adanya ratifikasi terhadap sejumlah peraturan yang ada di sektor kemaritiman ini.
Hadir pada acara itu, para pakar kemaritiman, praktisi pelayaran, pengamat pelayaran dan pelabuhan, antara lain Carmelita Hartoto, Budhi Halim, Lukman Ladjoni, Sunarto, Harisutanto, Asmari Herry, Tresna Pardosi, Capt. Otto Caloh, Capt Zaenal Hasibuan, H. Muslan, Khairul Mahalli, Yanti Agustinova, Banu Amza, Capt. Witono, Akbar Ladjoni, Capt. Dwiyono, Bambang Subekti, serta Capt. Supriyanto.
Mereka juga mengusulkan agar SDM di pemerintah khususnya para pelaksana teknis agar lebih ditingkatkan, hal itu untuk mengurangi terjadinya musibah di laut. (***)