Harapan adanya pengapalan langsung (direct call) dari pelabuhan di Indonesia, sebut saja Tanjung Priok ke sejumlah negara lain sudah dicita-citakan semua kalangan kepelabuhanan dari era Orde Baru.
Namun, keinginan tinggal keinginan. Pemilik barang masih saja lebih memilik pengapalannya melalui pelabuhan Singapura (transhipment Singapura). Kemungkinan disebabkan, dari pelabuhan Singapura banyak pilihan kapal-kapal yang direct ke berbagai negara tujuan. Dan itu berlangsung puluhan tahun.
Tetapi sekarang, sudah ada alternatif baru, bahwa eksportir disuguhi pilihan, transhipment Tanjung Priok yang sementara direct dengan rute Jakarta-Amerika Serikat menggunakan kapal CMA CGM, milik perusahaan pelayaran Perancis. Tentu saja dengan kelebihan-kelebihan yang ditawarkan kepada pengguna jasanya.
Dermaga JICT menjadi tempat sandar kapal-kapal CMA CGM itu. Setiap minggu, layanan direct tujuan akhir ke Amerika Serikat itu selalu datang. Ongkos dan waktunya pun konon lebih menjanjikan dibandingkan dengan pelayaran yang lain.
Misal, menggunakan CMA CGM, dari Jakarta-AS, sumber Ocean Week menyatakan, per kontaier 20 feet hanya dikenai biaya US$ 1.350 dan US$ 1.500 untuk 40 feet (tarif Juli 2017), sementara dengan kapal pelayaran lain rute sama, ditarif US$ 2.010 – 2080 per kontainer 20 feet, dan US$ 2.200 – US$ 2.600 per kontaier 40 feet. Waktu tempuh juga lebih pendek jika menggunakan pelayaran asal Perancis ini, yakni hanya 24 hari, sedangkan dua pelayaran lain ada yang 32 hari dan 37 hari.
Barangkali, hal ini belum banyak yang mengetahui, sehingga kapasitas angkut kapal CMA CGM tak selalu terpenuhi. Atau mungkin karena ada keterikatan lain, itu hanya mereka yang bermain di rute ini yang lebih paham.
Pastinya, pemerintah Presiden Jokowi sudah berhasil membawa kapal berkapasitas 8.500 TEUs ke pelabuhan Indonesia (JICT-red). Konon, informasi yang diperoleh Ocean Week menyebutkan, pada tahun 2018 ditargetkan kapal 18.000 TEUs bakal masuk ke Jakarta.
Sebenarnya direct call melalui JICT sudah lama dirintis dari tahun 2.000-an. Masih ingatkah waktu itu terminal ini bekerjasama dengan P&O Nedlloyd untuk pelayanan langsung ke Eropa. Service ini ditandai dengan masuknya Kapal ‘MV Texas’ dengan kapasitas 3.052 TEUs dan panjang 289 meter.
Lalu pada 2007, JICT juga teken dengan Maersk Line untuk service langsung ke Afrika. Service ini ditandai dengan masuknya Kapal berkapasitas 2.500 TEUs dan panjang 220 meter. Di tahun kembali JICT bekerjasama dengan konsorsium pelayaran termasuk APL (American President Line) untuk pelayanan langsung ke Australia. Service ini ditandai dengan masuknya Kapal ‘MV Boomerang’ dengan kapasitas 4.000 TEUs dan panjang 286 meter.
Pada tahun 2012, pengelola JICT , melakukan kerjasama kembali dengan Maersk Line untuk layanan langsung ‘Noorthern Loop’, Jakarta – Fremantle, Australia. Service ini ditandai dengan masuknya Kapal MV Maersk Diadema dengan kapasitas 4.542 TEUs dan panjang 250 meter.
Tiga tahun lala, JICT pun mampu mengajak Pelayaran China Shipping untuk layanan langsung ‘Sundex’, Jakarta – Eropa. Service ini ditandai dengan masuknya Kapal MV CSCL Felixtowe dengan kapasitas 4.500 TEUs dan panjang 297 meter.
Terakhir di 2017, di era Gunta Prabawa, dirut JICT, terminalnya mampu mendatangkan Pelayaran CMA CGM untuk layanan langsung ‘JAX’, Jakarta – Amerika. Service ini ditandai dengan masuknya Kapal MV CMA CGM Titus dengan kapasitas 8.500 TEUs dan panjang 334 meter.
Sejarah sudah pernah diukir oleh terminal milik Pelindo II yang dikerjasamakan dengan Hutchison ini, bahwa transhipment port telah kenyang dilakukan. Tapi, publik tetap saja kurang yakin dan terus bertanya sejauh mana ketahanan pengapalan langsung ini.
Dibalik itu semua, yang perlu diwaspadai oleh sektor pelayaran domestik adalah adanya rencana pelayaran Perancis ini untuk membuka pula rute-rute domestik sebagai penopang transhipment kapal besarnya.
Sumber Ocean Week menyatakan bahwa pelayaran ini akan menempatkan kapal-kapalnya berkapsitas 500 TEUs untuk mengangkut kontainer dari Perak, Belawan, Semarang dan pelabuhan lainnya ke Jakarta. Ini pasti akan mengganggu pelayaran domestik yang selama ini sudah nyaman pada zona itu.
Rencana ini memang belum santer masuk ke para pelayaran domestik tadi. Sebagian pelayaran menanyakan, apakah tidak melanggar azas cabotage dengan rencana bermainnya kapal-kapal asing itu ke wilayah domestik.
Inilah menjadi domain pemerintah, apakah pemerintah (Kemenhub) mau memprotek pelayaran lokal atau memberi kesempatan mereka untuk masuk ke ranah domestik dengan persyaratan.
Jadi pertanyaan yang sering mengemuka dari pelayaran lokal antara lain, masuknya direct call CMA CGM ini menjadi anugerah atau musibah bagi pelayaran nasional. Hanya para pelaku pelayaran dan pemerintah yang mampu menjawab tantangan atau harapan ini.
Yang jelas, Indonesia sudah berhasil memasukkan kapal besar, direct call, dan mengurangi layanan dari Singapura. Apalagi kalau, pelayaran asal Perancis ini juga menambah rute langsung tujuan Eropa maupun Asia.
Mungkinkah Tanjung Priok, mampu mewujudkan transhipment port. Direktur Operasi PT Pelindo II, Prasetyadi kepada Ocean Week pernah bercerita bahwa pihaknya akan bekerja keras untuk merealisasikan Jakarta sebagai transhipment port.
“Kami akan berusaha Jakarta menjadi konsolidasi barang-barang dari pelabuhan-pelabuhan daerah yang nantinya dikapalkan ke negara tujuan,” ujarnya. (***)