Direct call mestinya tetap memperhitungkan dan menerapkan azas cabotage, sebab jika tidak, program itu hanya akan dipenuhi kapal asing, sehingga menjadi masalah bagi perusahaan pelayaran local.
“Saat ini pemerintah hanya mementingkan program direct call hanya dari komoditas dan kesiapan pelabuhan. Penting juga mestinya melihat kapal pengangkutnya, yang seharusnya berasal dari kapal armada nasional. Jika tidak begitu, program ini hanya akan dikuasai kapal asing dan bertolak belakang dengan cita-cita azas Cabotage. Di mana sebenarnya selama ini sudah dengan baik dilayani oleh perusahaan lokal di Indonesia, yakni dari Makassar ke pelabuhan ekspor di Surabaya ataupun Jakarta,” kata Capt Zaenal Arifin Hasibuan, salah satu fungsionaris INSA mengomentari direct call sebagai keinginan pemerintah Kaltim mulai 2018 dari Terminal Kariangau, Kalimantan Timur ke luar negeri.
Seperti diketahui bahwa Kaltim pada awal 2018 mulai menerapkan sistem pelayaran direct call, artinya dapat melakukan ekspor-impor langsung dari dan ke luar negeri. Seperti yang telah dilakukan Makassar, Surabaya, dan Jakarta. Hanya saja tak sekadar membicarakan untung dari biaya logistik yang lebih murah, namun kapal yang digunakan untuk kegiatan ini juga perlu kajian yang lebih dalam.
Menurut Alumni Akademi Pelayaran ini, pengangkutan muatan antarpulau di Indonesia dilindungi dalam peraturan azas cabotage, karena itu harus dilakukan oleh pelayaran bendera merah putih yang diawaki oleh pelaut Indonesia.
“Namun, jika dengan skema direct call yang multiport sesuai peraturan terus diberlakukan di Indonesia, maka semangat industri pelayaran yang sedang giat dengan program Beyond Cabotage seperti sekarang akan mati ditelan strategi bisnis perusahaan pelayaran asing,” ungkapnya.
Zaenal mengaku cukup apresiatif terhadap keinginan ekspor langsung dari Kalimantan Timur, dan itu patut disikapi dengan baik oleh pemerintah. Karena, ini akan meningkatkan pendapatan negara dari sisi nilai jual barangnya.
“Namun, hal lain yang harus diperhatikan adalah besarnya biaya angkutan barang ekspor tersebut yang dibayarkan oleh pembeli di luar negeri,” ucapnya.
Menurut dia, jika kegiatan ekspor menggunakan kapal asing, maka peluang bagi pelayaran nasional untuk mendapat jasa uang freight menjadi lenyap. “Besaran nilai ini dahsyat. Dan apabila bisa dilakukan dengan kapal Indonesia, maka akan mampu menjadi stimulus perkembangan pelayaran nasional termasuk menyerap SDM pelaut. Artinya keinginan direct call harus disikapi oleh pemerintah dari kacamata lebih luas lagi. Hal ini agar setiap pemanfaatan ekonomi kegiatan tersebut benar-benar terasa untuk kemajuan ekonomi Indonesia keseluruhan,” jelas Zaenal.
Dia menyatakan, kapal dari luar negeri, bisa menawarkan diskon tarif untuk muatan yang diangkutnya. Indonesia sebagai negara besar dengan penduduk di atas 250 juta jiwa, tentu menjadi salah satu primadona di kawasan Asia Pasifik, termasuk bagi perusahaan pelayaran Hong Kong.
“Belum lama ini sebuah perusahaan pelayaran Hong Kong digandeng PT Pelindo IV untuk melayani ekspor-impor dari Makassar dengan skema direct call,” katanya.
Tetapi, belakangan skema tersebut bergeser, tidak lagi direct call, melainkan kapal melakukan pelayaran ke pelabuhan lain, seperti Jakarta dan kota-kota di ASEAN sebelum ke Hong Kong. Jika skemanya demikian, tanpa disadari dapat membunuh pelayaran local.
Zaenal menyebutkan, Hong Kong dengan tingkat suku bunga di bawah satu digit, akan mudah bersaing dengan perusahaan pelayaran Indonesia, yang menggunakan pinjaman bank lokal dengan bunga termasuk yang tertinggi di Asia dengan kisaran masih dua digit. (***)