Indonesian National Shipowners’Association (INSA) mengharapkan stabilitas keamanan kawasan pelayaran antar negara ASEAN kian membaik, menyusul adanya kembali aksi penyanderaan terhadap awak kapal Indonesia. Diharapkan hal itu tidak terus berulang.
Ketua Umum Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) Carmelita Hartoto menyampaikan keprihatinan atas 7 warga negara Indonesia (WNI) anak buah kapal tug boat Charles 001 dan Tongkang Robby 152 yang diduga disandera oleh kelompok Abu Syayaf. Aksi penyanderaan terhadap ABK Indonesia, harus menjadi perhatian serius pemerintah, sehingga aksi serupa tidak terjadi lagi.
Carmelita juga mengharapkan pertemuan trilateral antara Indonesia, Malaysia dan Filipina bersama negara Jepang pada Mei lalu yang menghasilkan deklarasi peningkatan kerja sama join forces untuk mewujudkan stabilitas keamanan di perbatasan ketiga negara dapat menjawab tantangan keamanan kawasan yang dihadapi saat ini.
“Kami berharap melalui deklarasi ketiga negara tersebut dapat segera memberikan dampak terhadap keamanan di ketiga kawasan negara,” katanya.
Pada sisi lain, INSA sangat mengapresiasi reaksi cepat Kementerian Perhubungan dengan mengeluarkan maklumat pelayaran berisi larangan keras terkait Persetujuan Berlayar (SPB) bagi kapal-kapal berbendera Indonesia yang akan berlayar menuju selat Zulu, Philipine dan sekitarnya yang termasuk daerah rawan perompakan.
Seperti diketahui bahwa Kementerian Perhubungan (Kemhub) melarang kapal-kapal berbendera Indonesia untuk berlayar melintasi perairan Filipina. Hal itu menyusul penyanderaan terhadap tujuh warga negara Indonesia (WNI) yang merupakan awak kapal Tugboat Charles 001 dan Tongkang Robby 152 milik PT Rusianto Bersaudara oleh kelompok bersenjata diperairan Filipina Selatan.
Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kemhub, Tonny Budiono, mengatakan, pihaknya menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Maklumat Pelayaran No. 130/VI/DN-16 tanggal 24 Juni 2016 yang berisi larangan keras penerbitan surat persetujuan berlayar (SPB) bagi kapal-kapal berbendera Indonesia yang akan berlayar menuju Filipina.
“Masalah pembajakan ini merupakan hal yang serius dan tidak dapat ditoleransi lagi. Untuk itu saya minta kepada seluruh Kepala Distrik Navigasi agar menginstruksikan setiap Stasiun Radio Operasi Pantai (SROP) untuk memonitor dan me-relay indikasi atau berita marabahaya sedini mungkin,” kata Tonny dalam pernyataan tertulisnya, di Jakarta, Jumat (24/6).
Penyanderaan 7 ABK dari kapal Tugboat Charles 001 dan Tongkang Robby 152 merupakan pengecualian karena 6 ABK lainnya dibebaskan dan dapat membawa kembali Tug boat dan Tongkang beserta muatannya kembali ke Samarinda.
Sementara itu, enam korban yang selamat dari penyanderaan telah tiba di Pelabuhan Semayag, Balikpapan, Sabtu 25 Juni 2016 sekira pukul 09.30 WITA. Mengingat persoalan pembajakan adalah persoalan yang serius, Carmelita meminta agar perusahaan pelayaran mematuhi maklumat tersebut dan bila tetap memiliki kewajiban membawa muatan melewati daerah tersebut, ABK diwajibkan melakukan pelayaran secara konvoi, meningkatan kewaspadaan saat mengoperasikan kapal di wilayah yang dinyatakan berbahaya dengan melakukan double watch atau muka–belakang dan jika perlu menggunakan arm guard atau meminta bantuan pengawalan khusus.
“Kami meminta seluruh pelayaran bersikap ekstra hati-hati terhadap insiden seperti ini,” katanya.
Jaga Muka Belakang
Sekretaris Umum INSA Budhi Halim meminta agar pelayaran meningkatkan kewaspadaan dengan tetap memantau dan melakukan penjagaan muka dan belakang kapal selama pelayaran dan segera melaporkan kepada sea and coast guard terdekat untuk meminta bantuan jika ada tanda- tanda akan mengalami gangguan. “Yang ‘dicurigai’ dapat segera langsung dilaporkan kepada sea and coast guard terdekat,” ujar Budhi.
Kapal TB Charles 001 yang membawa 13 anak buah kapal (ABK) yang semuanya warga negara Indonesia (WNI), pada Rabu 22 Juni 2016 dibajak kelompok bersenjata di Perairan Filipina.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan, dengan terulangnya penyanderaan kapal, maka harus disikapi secara bijak oleh pemerintah.
“Terulangnya penyanderaan kapal berbendera dan awak warga negara Indonesia harus disikapi sejak bijak oleh pemerintah. Pemerintah tentu harus hadir dalam proses pembebasan sandera,” kata Hikmahanto.
Namun, sambung Hikmahanto, bukan hanya pemerintah saja yang harus berperan aktif dalam kasus tersebut. Melainkan para bawahan yang mempunyai tugas terkait juga harus ikut menyelesaikan masalah penyanderaan itu.
“Tidak harus Presiden, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Panglima TNI, dan Kapolri yang harus turun tangan,” ujarnya.
Menurut Hikmahanto, perusahaan pengelola kapal dan ABK juga harus terlibat, kendati telah ada permintaan dan imbauan dari pemerintah untuk tidak melalui jalur tersebut.
Ketika pemerintah langsung menebus para tersandera, maka hal itu dapat menjadi alat kesengajaan bagi pembajak untuk mendapatkan uang. Ia pun mengingatkan pemerintah agar bisa mengubah kesan Indonesia menjadi sasaran empuk para pembajak.
“Upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah menjauhkan kesan dari para pembajak agar yang berbau Indonesia untuk menjadi sasaran empuk motif ekonomi para penyandera atau pembajak,” tandasnya. (ow/oz)