Adanya Container Freight Station (CFS/pusat konsolidasi kargo) sejak dua tahunan lalu (20/11/ 2017), menjadikan pelayanan Pelabuhan Tanjung Priok lebih cepat, efisien, transparan, dan tertib. Hal itu dikarenakan tidak ada lagi pungutan dan biaya tak terduga yang harus ditanggung pengguna jasa atau pemilik barang.
“Pelaku usaha di pelabuhan mengapresiasi positif CFS Center ini. Sebab, hadirnya CFS Center memberi manfaat positif secara komersial tidak hanya biaya, namun juga waktu. Khususnya buat kargo impor dengan kontainer berstatus LCL lewat Pelabuhan Priok,” kata Pengamat Maritim dari Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS), Saut Gurning.
Menurut Saptono Rahayu Irianto, Direktur Komersial dan Pengembangan Usaha PT Pelindo II, CFS Center merupakan fasilitas yang ditujukan untuk memberikan kemudahan bagi pengguna jasa dalam bertransaksi serta transparansi dalam hal biaya yang dikeluarkan. Dengan integrasi CFS di Pelabuhan Tanjung Priok, IPC optimis bahwa volume penanganan container LCL akan terus meningkat.

CFS hadir agar proses pelayanan menjadi ringkas dan sederhana sehingga menjadi efisien bagi pengguna jasa, dimana integrasi CFS mencakup manajemen data pelanggan, CFS booking service, layanan nota, pembayaran elektronik, tracking kargo dan customer care. “Sejak dibuka pada 20 November 2017, volume transaksi terus mengalami lonjakan signifikan,” ungkap Saptono.
Selain itu, kata Saut Gurning, juga dapat mengurangi dampak negatif terkait biaya mahal biaya pergudangan dan forwarding, biaya kepabeanan, tingkat kemacetan angkutan darat, dan lamanya proses kepabeanan. “Intinya potensi pengurangan biaya logistik mungkin dapat terealisasi bukan hanya bagi para pemilik barang atau trader di sekitar hinterland Pelabuhan Tanjung Priok. Namun juga bagi Indonesia secara umum karena porsi perdagangan ekspor-impor Indonesia secara nilai khususnya kontainer sekitar 65 persen melalui Pelabuhan Tanjung Priok,” ujar Gurning.
Dosen ITS Surabaya ini juga menyatakan, keuntungan utama dari adanya CFS Centre di Pelabuhan Tanjung Priok secara bisnis adalah terjadinya mekanisme single billing yang mengurangi praktek biaya lewat berbagai additional charges yang selama ini dilakukan berbagai pelaku usaha. Khususnya untuk komponen biaya pergudangan, penumpukan, forwarding dan biaya kepabeanan khususnya kargo impor lewat kontainer berstatus LCL. Secara tidak langsung proses single billing ini juga berpotensi mengurangi level dwelling-time dan pada akhirnya biaya logistik barang per satuan kubik-meter (CBM).

“Diharapkan dengan CFS Center ini biaya-biaya pergudangan kontainer impor LCL untuk komponen receiving, delivery dan mekanis dapat lebih menurun lagi dari angka sekitar Rp 150.000 per CBM. Termasuk untuk layanan kargo barang berbahaya (dangerous goods,” kata Gurning.
Dampak positif ini sangat mendukung untuk peningkatan daya saing industri nasional yang sering kali berbenturan dengan semakin kompetitifnya biaya logistik internasional. Sementara jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia seperti Jepang, Korea, maupun China, ongkos logistik di Indonesia masih tergolong tinggi. Dalam peringkat indeks logistik, Indonesia pun masih berada di bawah negara-negara tersebut.
Seperti diketahui, CFS merupakan fasilitas penyimpanan kontainer impor berstatus less than container load (LCL) yang masih dalam pengawasan kepabeanan. Keberadaan CFS dimaksudkan untuk memperlancar arus barang dan pengurusan dokumen pelabuhan. Dengan fasilitas tersebut diharapkan biaya impor bisa dipangkas hingga 10 persen.
Belum lama ini, Ketua Umum Ikatan Eksportir Importir Indonesia (IEI) Amalia mengatakan kehadiran fasilitas CFS Centre di Tanjung Priok sekaligus diharapkan biaya layanan pergudangan lebih tertib.
“Dengan single billing di CFS Center tidak ada pungutan atau biaya yang aneh aneh yang harus ditanggung pengguna jasa atau pemilik barang, misal seperti biaya devaning,” ucapnya.
Amalia menyatakan, sepanjang biaya lebih effisien, transparan, dan pelayanan lebih cepat, maka
IEI menyambut baik adanya fasilitas CFS Center itu.
Sejauh ini, fasilitas CFS Center di Priok mampu melayani 400-an transaksi (billing) layanan pergudangan untuk kargo impor LCL setiap harinya dengan kecepatan layanan dokumen billing mencapai 2 menit per dokumen. Sebelumnya, layanan dokumen billing di Priok rata-rata 7 menit per dokumen.
Sayangnya, pengelola CFS Center belum mengoptimalkan fasilitas yang dioperasikannya. Gudang dan lapangan ex. Samudera Indonesia di samping pos 9 tersebut, masih sering terlihat kosong. Disamping itu, pengelola juga mesti dapat mengatur dengan baik truk-truk petikemas yang mengantre ke CFS Center, sehingga tidak menimbulkan kemacetan.

Adil Karim, Sekretaris Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta, mengungkapkan sejak awal ALFI Jakarta sudah mengingatkan bahwa lokasi fasilitas CFS Centre di Priok seharusnya jangan di dalam pelabuhan karena akan menyebabkan kemacetan trafic, tetapi disiapkan di luar pelabuhan.
“Kalau didalam pelabuhan gak efisien karena sekarang saja kondisinya macet apalagi ada CFS centre. Jadi kami rasa para pelaku usaha logistik di Priok juga mempertimbangkan faktor efisiensi itu sehingga gak menggunakan fasilitas CFS centre tersebut,” ujar Adil.
Adil juga mengatakan, layanan kargo impor bestatus LCL saat ini sudah banyak dilayani di sejumlah fasilitas pergudangan di luar pelabuhan yang masih masuk wilayah pabean dan cukai pelabuhan Tanjung Priok.
“Pada praktiknya, layanan kargo impor LCL yang ada di luar pelabuhan saat ini tidak ada masalah mengingat layanan ini kan sifatnya business to business antara pengguna jasa, pemilik gudang dan pemilik barang. Jadi kalau mau dipusatkan hanya disatu tempat saja cukup sulit,” ungkap Adil. (jp/ow/**)