Jika PSA Singapura berhasil menangani sekitar 35 juta TEUs dan mentarget mampu mencapai 65 juta TEUs di pelabuhan Tuas yang sedang dibangunnya, pelabuhan di Indonesia dengan 10 juta TEUs, namun tidak demikian dengan Busan.
Pelabuhan Busan di Korea Selatan ini mentarget menangani sekitar 25 juta TEUs petikemas pada tahun 2023, dan sebanyak 30 juta TEUs di tahun 2030. Saat ini sekitar 20 juta TEUs setiap tahun mampu ditangani di pelabuhan yang menghubungkan Amerika dan Eropa ini.
Pada hari Selasa (26/12) kemarin, Busan Port Authority (BPA) serta Kementerian Urusan Maritim dan Perikanan telah menadakan upacara perayaan pencapaian angka 20 juta TEUs tersebut.
Menurut BPA, diperkirakan capaian Busan sampai akhir tahun 2017 bisa sebesar 20,5 juta TEUs, mengingat hingga tanggal 22/12 lalu sudah mencatat 20 juta TEUs.
“Walaupun mengalami krisis pada tahun lalu akibat kebangkrutan Hanjin Shipping, namun tahun 2017 ini, Busan berhasil membuka era penanganan 20 juta unit kontainer,” kata BPA sebagaimana dikutip dari salah satu harian di Korea, kemarin.
Seperti diketahui bahwa pelabuhan Busan saat ini menjadi pelabuhan transhipment yang menghubungkan Amerika Serikat dan Eropa. Pelabuhan ini mampu memiliki jaringan yang menghubungkan ke 500 pelabuhan di dunia. Fungsi pelabuhan ini tak jauh berbeda dengan pelabuhan Singapira, kapal-kapal besar dari penjuru dunia berlabuh di sana.
Mayoritas Busan menangani kargo dari China, Jepang, Asia Tenggara, Amerika Latin, Afrika, dan sebagainya. Pada tahun 1984, pelabuhan Busan sudah mencatatkan 1 juta TEUs berhasil ditangani, dan itu terus meningkat dari tahun ke tahun hingga mencapai 20 juta TEUs di tahun ini.
Tahun 2014, pelabuhan Busan sudah mampu menangani volume petikemas sebesar 18,65 juta TEUs, diatas pelabuhan Qingdao di China yang hanya mencatatkan 16,62 juta TEUs.
Pemerintah dan Busan Port Authority terus berupaya memperbaiki infrastruktur di pelabuhan Busan dengan menambah 6 dermaga tempat sandar kapal, serta berbagai fasilitas tempat barang.
Pelabuhan Busan sendiri pertama kali dibuka pada tahun 1879 silam. Dan sejak tahun 2006 dikembangkan dan akhirnya menjadi pelabuhan transhipment yang cukup berhasil, selain pelabuhan Singapura.
Pelabuhan Indonesia
Sementara itu, total capaian yang ditangani pelabuhan di Indonesia masih berkisar 10 juta TEUs. Karena itu, semua pihak mesti memikirkan bagaimana agar pelabuhan Indonesia bisa menuju kesana.
Transhipment port adalah salah satu alternatif yang sering ditawarkan pemerintah maupun operator pelabuhan Indonesia, untuk menuju Indonesia lebih besar lagi.
Namun, untuk saat ini, kata Asmari Herry (dari Samudera Indonesia) pelabuhan di Indonesia, terutama Tanjung Priok masih hanya sebatas sebagai gateway, belum bisa disebut Transhipment. “Namun kita sudah punya modal 10 juta TEUs. Kalau ini ditangani serius dengan aturan yang tegas dari pemerintah melalui kebijakannya, saya optimis Indonesia bisa,” ucapnya.
Sekitar pertengahan November 2017 lalu, sejumlah komponen juga telah berkomitmen mewujudkan transhipment port Jakarta. Mereka yang menandatangani komitmen antara lain unsur pemerintah (Bea Cukai, Ditjen Hubla Perhubungan), Pelindo II, INSA, Kadin Indonesia Bidang Perhubungan, ALFI, APBMI, dan Pelayaran, disaksikan oleh Menhub Budi Karya Sumadi.
Dirut Pelindo II Elvyn G. Masassya menyatakan keyakinannya jika transhipment pelabuhan Tanjung Priok Jakarta ini bisa diwujudkan. “Sekarang sudah ada direct call ke Amerika Serikat, dan Asia,” kata Elvyn.
Dari volume barang (petikemas) yang berhasil dicatatkan pelabuhan Singapura, kemudian Busan Korea Selatan, rasanya Indonesia masih tertinggal jauh dan pasti akan sulit mengejarnya. Apalagi kalau pemerintah, pengelola pelabuhan dan semua pihak yang terlibat tidak kompak dan solid, karena berjalan pada koridor masing-masing. (***)