Peraturan Menhub no. 53 tahun 2018 tentang Kelaikan Petikemas dan Berat Kotor Petikemas Terverifikasi, yang akan diberlakukan pada awal (Januari) tahun 2019, masih menjadi pro kontra pelaku usaha kepelabuhanan. Sosialisasi peraturan tersebut, sudah dilakukan oleh Kantor Otoritas Pelabuhan (OP) Tanjung Priok, Kamis (30/8), bertempat di Santika Hotel, Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Berbagai pertanyaan dari sejumlah kalangan usaha mengenai bagaimana mekanisme pelaksanaannya, benarkah BKI sebagai lembaga surveyornya, dan siapa yang menanggung beban biaya yang muncul, menjadi topik menarik para pelaku usaha yang terdiri dari importir, depo petikemas, dan sebagainya mempertanyakan kejelasannya.
Namun, mereka berharap agar pelaksanaan peraturan itu tidak sampai mengganggu perekonomian nasional, mengingat sebanyak 80% petikemas yang beredar di Indonesia disinyalir tidak laik laut atau tidak layak.
Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) yang dinilai belum siap melaksanakan surveyor kelaikan petikemas oleh sejumlah kalangan, akhirnya buka suara.
Dirut PT BKI Rudianto kepada Ocean Week menyatakan, bahwa secara teknis kelaikan petikemas tersebut diatur melalui konfensi IMO (International Maritime Organization) secara internasional dan diterapkan pada sisi lokal atau nasional melalui penerapan statutory pemerintah.
“Jadi menurut saya ini adalah domain dari pemerintah. BKI sebagai Klas pada dasarnya mengikuti ketentuan yang diberlakukan oleh pemerintah yang tentunya dalam scheme RO Code,” kata Rudianto dari negeri Mekah melalui selularnya.
Menanggapi tudingan belum masuknya BKI sebagai anggota IACS, Rudianto mengungkapkan, untuk masalah keanggotaan IACS atau tidak, pada kegiatan ini bisa dilihat bagaimana VR (Vietnam), Turkish Lloyd (Turki) yang bukan anggota IACS juga melakukan scheme RO Code yang sama melalui ketentuan pemerintahnya yang melalui regulasi lokal.
“Untuk teknis pelaksanaan dalam rules dan regulationnya, BKI sudah memiliki standar pemeriksaan CSC sudah cukup lama. Jadi untuk kesiapan, kami sudah menyiapkan hal tersebut, juga bekerjasama dengan Klas Partner sebelumnya,” ungkap Rudianto.
Sebelumnya, INSA Tanjung Priok menyatakan setuju bahwa petikemas yang diserahkan kepada pengguna jasa harus laik laut. Karena kelaik lautan petikemas menjadi tangung jawab pelayaran, sehingga maintenance-nya juga menjadi tanggung jawab pelayaran, termasuk penunjukan surveyor sebagai wakil dari pada anggota IACS (International Association of Classification Societies).
“IACS atau Asosiasi Biro Klasifikasi Internasional itu sudah diketahui oleh Kemenhub. Jadi IACS yang memberi penilaian bahwa petikemas itu laik laut, dan kemudian merekalah (anggota IACS) yang berwenang untuk mereview kelaikan laut petikemas tersebut. Jadi kalau BKI ditunjuk untuk menjadi surveyor kelayakan petikemas, rasa-rasanya masih belum, mengingat BKI belum masuk ke IACS,” kata Capt. Supryanto, Sekretaris DPC INSA Jaya kepada Ocean Week, menanggapi rencana pemberlakuan PM 53 tahun 2018 mengenai kelaikan petikemas dan berat kotor petikemas terverifikasi, dan Kemenhub menunjuk BKI sebagai surveyornya.
Menurut Capt. Supriyanto, bahwa petikemas-petikemas yang telah dinyatakan laik laut tersebut dapat dlihat di dalam CSC Plate, sehingga yang berwenang untuk mereview kelaikan laut petikemas tersebut adalah biro klasifikasi yang bersangkutan.
Sepengetahuan Supriyanto belum ada petikemas baru yang berlogo dari BKI yang didaftarkan. “Mungkin saya salah terhadap ini, apalagi BKI belum terdaftar di IACS,” ungkapnya.
Jadi, kata Supriyanto, BKI dapat melakukan penilaian kelaikan laut petikemas, mesti atas dasar otorisasi dari klasifikasi terkait untuk kontainer trade international. “Tapi BKI sendiri belum terdaftar di IACS, bagaimana itu,” ucapnya bertanya. Meski begitu, INSA Jaya sangat mengapresiasi rencana pelaksanaan PM 53 tahun 2018.
Awal 2019 Dilaksanakan
Sementara itu, Kepala Otoritas Pelabuhan (OP) Tanjung Priok Hermanta menyatakan bahwa PM 53 tahun 2018 tentang Kelaikan Petikemas dan Berat Kotor Petikemas Terverifikasi, akan diberlakukan pada awal tahun 2019.
“Pelaksanaannya enam bulan dari peraturan itu diundangkan pada bulan Juni 2018, jadi Januari 2019 dilaksanakan,” katanya.
Menurut Hermanta, pihak yang nantinya ditunjuk sebagai surveyor, bisa saja bukan hanya BKI, tapi bisa juga badan usaha yang ditunjuk. “Bisa BKI atau bisa badan usaha yang ditunjuk oleh Menteri,” ujarnya.
Menjawab pertanyaan mengenai biaya yang muncul, dan berapa tarifnya, Hermanta mengatakan bahwa pihaknya tidak terlibat dengan masalah biaya dan tarif.
Seperti diketahui bahwa peraturan menteri perhubungan 53/2018 tersebut tidak berlaku untuk petikemas yang didesain untuk pengangkutan di udara, lalu petikemas pada sasis atau trailer termasuk peti kemas tangki, petikemas rak datar, petikemas muatan curah yang diangkut secara bersamaan pada kapal RoRo/kapal penyeberangan. “Juga untuk petikemas yang tidak sesuai standar konvensi”.
Terhadap petikemas yang telah difungsikan dan mendapatkan persetujuan serta dilakukan pemeriksaan untuk perawatan sebelum berlakunya peraturan Menhub ini, harus menyesuaikan dengan peraturan Menhub dalam rangka waktu paling lama 6 bulan sejak diundangkan.
Di tempat lain, Asmari Herry (Direktur Samudera Indonesia Shipping) mengungkapkan, kalau pelayaran yang harus bayar terhadap konsekuensi surveyor petikemas itu, mestinya tidak harus menggunakan BKI, karena kontainer tadi sudah dilengkapi sertifikat laik pakai dari pabrik pembuat kontainernya. “Berarti ada duplikasi biaya, apalagi tidak sesuai dengan best practise sebagaimana terjadi diluar Indonesia,” kata Asmari Herry.
Asmari juga menyatakan, apakah ini ada kepentingan bisnis atau tidak pada saat mengusulkan labelling, apalagi penunjukan BKI. “Kenapa mesti BKI, ini juga sedikit bertentangan dengan spirit mengurangi biaya karena rencana labelling ini pasti akan timbul biaya tambahan, tinggal siapa yang akan tanggung biayanya. Kalau perusahaan surveyor akan senang karena ada captive income, ” katanya. (ow/***)