DPD Aptrindo DKI Jakarta kembali menyatakan sikapnya akan melakukan stop operasi pada tanggal 1 Oktober 2019, jika pemerintah tak bisa menjamin ketersediaan pasokan solar (JBT) di SPBU seluruh Jakarta dan sekitarnya, serta menjamin pelayanan SPBU untuk pengisian bahan bakar truk angkutan barang.
“Kami (pengusaha truk) di Jakarta akan stop operasi pada tanggal 1 Oktober jika 5 point pernyataan sikap kami (Aprindo) kepada pemeritah yang antara lain minta revisi semua brosur, pamflet, spanduk serta semua bentuk sosialisasi terkait peraturan peruntukan penggunaan bio solar tak dilakukan pemerintah hingga waktu yang kami minta,” kata Mustajab, Ketua Aptrindo Jakarta, kepada Ocean Week, Jumat pagi ini.
Protes dari para pengusaha truk tersebut bukan tanpa alasan. Menurut Mustajab, bahwa saat ini terjadi ketidakjelasan tata kelola pendistribusian BBM Biosolar di SPBU Jakarta dan sekitarnya, sehingga terjadi banyak antrian di SPBU yang mau melayani penjualan Biosolar untuk kepentingan operasional armada truk.
“Tapi, banyak SPBU yang menolak melayani karena instruksi BPH Migas dan surat edaran Pertamina untuk tidak memberikan biosolar kepada truk diatas 6 ban seandainya diberikanpun hanya dijatah 60 liter. Bahkan kurang dan truk2 tersebut dipaksa untuk mengkonsumsi Dexlite maupun Pertamina Dex, ini yang menjadi ujung pangkal permasalahan kita,” ujarnya lagi.
Menurut Mustajab, Aptrindo DKI Jakarta bukan tak setuju dengan kebijakan pemerintah, justru pihaknya minta Pemerintah tetapkan Biosolar “satu harga”, cabut subsidinya. “Kami semua akan mengkonsumsi Biosolar tersebut tanpa perlu ribut2 dengan Pengemudi kami tentang menetapkan “Uang Jalan” dan dengan Para Pelanggan yang kami layani untuk menetapkan “Tarif Angkutan” yang kita sepakati berdasarkan satu harga BBM non Subsidi yang telah ditetapkan Pemerintah dalam hal ini BPH Migas dan Pertamina tersebut,” ungkapnya.
Namun, katanya, jika diambangkan seperti ini terjadi carut marut ketidakpastian distribusi Biosolar banyak pihak2 yang tidak bertanggungjawab mengambil keuntungan sepihak, misalnya ada SPBU yang menjual Biosolar Rp. 9.850/liter, ada yang dipaksa pakai Dexlite Rp. 10.200/liter dan PertaDex Rp. 11.700/liter.
“Ini semua menambah ongkos operasional Truk tapi tidak bisa dipertanggungjawabkan ke Customer sehingga siapa yang menanggung beban kenaikan ongkos ini, Pengemudi tidak mau jalan kalau tidak ditambah Uang Jalannya, sedangkan Customer tidak mau ongkos naik, ujung-ujungnya dikembalikan kepada kami pemilik dan pengelola Truk, ya sama juga kami dipaksa dan diminta Stop Operasi,” kata Mustajab prihatin.
Mustajab mengungkapkan, bahwa pihaknya sebenarnya tidak menginginkan hal itu terjadi. Tetapi apa boleh buat, terus pertanyaannya siapa yang bertanggung jawab atas terjadinya carut marut ketidakpastian distribusi dan harga BBM di SPBU-SPBU ini.
“Mosok iya kita. Mari sama-sama kita renungkan, jangan sampai nanti ujung2nya kami Aptrindo dianggap Gagal Paham lagi,” ujarnya.
Sekali lagi Mustajab menegaskan, initinya Aptrindo tidak menolak dan tidak ada niat sama sekali menolak cabut subsidi Biosolar, tapi tuntutan kita jelas buat satu kebijaksanaan yang adil akan satu harga tanpa disparitas harga, satu kualitas yang sama, Biosolar yang tidak polusi dan tentunya menjamin pasokan BBM tersebut tersedia dan dilayani di semua SPBU yang ada di Jakarta dan sekitarnya serta menjamin keadaan yang sama di seluruh Indonesia.
Pantauan Ocean Week di beberapa SPBU di Jakarta Utara, memang banyak SPBU yang menolak truk-truk petikemas mengisi solar subsidi. (***)