Asosiasi Logistik dan Forwarding Indonesia (ALFI) DKI Jakarta menegaskan menolak revisi undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, terutama mengenai rencana pemerintah untuk menghapus ketentuan Pasal 110 Ayat (1) dan (5) pada Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU tersebut.
Adil Karim, Ketua Umum ALFI DKI Jakarta menyatakan hal itu kepada Ocean Week, di kantornya, kemarin. “ALFI DKI Jakarta tegas menolak itu, karena itu tidak sesuai dengan keinginan pemerintah sendiri yang menginginkan cost logistik murah. Saya yakin jika pemerintah tidak mendengar aspirasi kami sebagai pelaku usaha, kebijakan tersebut dapat berdampak pada kenaikan tarif logistik yang tidak terkendali dan mengancam daya saing produk Indonesia di pasar global,” ujarnya serius.
Adil juga mengemukakan, bahwa asosiasi memiliki peran sebagai alat kontrol, sekaligus mengawasi mengenai tarif-tarif kepelabuhanan. Kalau nanti asosiasi sebagai perwakilan dari para pelaku usaha di bidangnya masing-masing tidak diberikan peran dalam hal penetapan tarif kepelabuhanan, siapa yang akan mengontrol kalau BUP pelabuhan seenaknya membuat tarif sendiri tanpa ada yang mengontrol, mengawasi.
“Keputusan DPP ALFI jelas menyatakan menolak dan kami wajib mengikutinya. Karena hal itu untuk membantu menghindari hal yang sangat negatif, dimana Indonesia sekarang sedang menuju ke perubahan 2045,” katanya.
ALFI DKI Jakarta berharap, Menhub Budi Karya Sumadi peka terhadap masalah ini, karena pada masa jabatannya yang tinggal beberapa bulan lagi, jangan sampai meninggalkan kegaduhan di masa depan. “Saya rasa semua asosiasi sudah berkirim surat kepada pemerintah mengenai penolakan dan keberatan atas revisi UU Pelayaran tersebut,” tegasnya.
Aris Hartoyo, Ketua Umum ISAA juga menyatakan hal yang sama. “Kita pun menolak rencana revisi UU Pelayaran itu,” katanya singkat.
Jawa Timur Tolak
Dalam berita Ocean Week sebelumnya, Asosiasi Logistik dan Forwarding Indonesia (ALFI) Jawa Timur (Jatim) bersama dengan GINSI (Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia) Jatim, GPEI Jatim (Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia), Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) Jatim, Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) Jatim juga menyatakan menolak atas revisi UU Pelayaran.

Terutama mengenai rencana pemerintah untuk menghapus ketentuan Pasal 110 Ayat (1) dan (5) pada Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 17 Tahun 2008, tentang Pelayaran.
ALFI Jatim menilai kebijakan ini dapat berdampak pada kenaikan tarif logistik yang tidak terkendali dan mengancam daya saing produk Indonesia di pasar global.
Ketua DPW Jatim ALFI/ILFA Sebastian Wibisono, mengungkapkan bahwa sikap ini serupa dengan sikap yang juga diambil sebelumnya oleh Pengurus pusat ALFI/ILFA pada beberapa waktu lalu.
Wibisono juga menilai bahwa penghapusan pasal ini akan memberikan otoritas pelabuhan selaku wakil pemerintah memiliki kewenangan penuh untuk menentukan tarif tanpa perlu berkonsultasi.
“Langkah ini berisiko menimbulkan praktik monopoli dalam penetapan tarif. Tentunya kami sebagai DPW ALFI Jawa Timur juga ingin membantu dan mendorong merapatkan barisan dengan keputusan DPP untuk membantu menghindari hal yang sangat negatif, dimana Indonesia sekarang sedang menuju ke perubahan 2045,” ujar Wibi (panggilannya) kepada pers di Surabaya, Sabtu (24/8).
“Sedangkan RUU ini akan membuat kembali mundur, dimana kita ingin menurunkan biaya logistik, akan tetapi mau di monopoli,” ungkapnya.
Wibi menambahkan bahwa terminal operator itu memerlukan pengawasan dan pengontrolan, tidak hanya untuk perihal tarif tetapi juga sebagai kontrol stabilitas kegiatan-kegiatan operasional oleh asosiasi sebagai wakil dari pengguna jasa.
“Ini ditujukan agar tidak timbul permasalahan di kemudian hari, karena dengan adanya kontrol, cost dan stabilitas bisa ditingkatkan,” katanya.
ALFI Jatim berharap Menteri Perhubungan (Budi Karya Sumadi) bisa sensitif terhadap permasalahan dalam revisi RUU ini. “Semoga kedepannya upaya ini berjalan dengan baik,” ujar Wibi.
Dia menyatakan mendukung pada usulan DPR RI untuk melibatkan asosiasi dalam penentuan tarif-tarif jasa kepelabuhanan.
Menurut Wibi, keterlibatan asosiasi seperti ALFI dan asosiasi lainnya tidak hanya penting dalam pengendalian tarif, tetapi juga dalam memastikan kualitas pelayanan di pelabuhan tetap terjaga.
“Termasuk organisasi usaha Jasa kepelabuhan, GINSI, GPEI, INSA, ALFI dan APBMI sebagai asosiasi yang paham benar batas-batas kemampuan anggotanya dalam memenuhi tarif jasa kepelabuhanan,” ungkapnya lagi.
Kata Wibi, kalau tujuan nya adalah mencapai Indonesia Emas pada tahun 2045, maka keterlibatan asosiasi sebagai representasi pengguna jasa harus tetap ada. “Tanpa itu, kita justru akan bergerak mundur,” jelasnya.
Wibi menyoroti bahwa praktik yang melibatkan Tri Partit di pelabuhan yang sudah berlangsung selama ini sudah sesuai, karena melibatkan pihak pemerintah diwakili Kantor Syahbandar dan Otoritas yang mengabsahkan, pihak operator terminal sebagai pembuat draft tarif-tarif jasa kepelabuhanan dan asosiasi-asosiasi.
“Jika peran asosiasi dihapuskan, maka tarif-tarif tersebut akan ditentukan secara sepihak oleh operator terminal. Ini berpotensi besar hanya menguntungkan satu pihak saja dan membuat para pelaku usaha kesulitan,” tegasnya.
Sebagai wujud komitmen para asosiasi kepelabuhanan, pada Jumat (23/8) lalu, melalui para ketuanya telah menyatakan sikap bersama dengan ketua umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur Adik Dwi Putranto, menolak hal itu.
Ketua Umum Kadin Jatim Adik Dwi Putranto mengungkapkan bahwa rencana tersebut bertentangan dengan upaya pemerintah untuk menurunkan cost logistik, baginya kolaborasi perlu tetap dipertahankan untuk memastikan tarif yang berlaku adil dan tidak merugikan pelaku usaha.

“Kami berharap pemerintah lebih sensitif terhadap isu ini, surat resmi akan kami kirimkan ke Presiden Joko Widodo minggu depan untuk menegaskan posisi kami,” ujarnya.
Kadin Jatim percaya, Presiden Jokowi akan memahami pentingnya menjaga stabilitas biaya logistik, mengingat latar belakangnya sebagai pengusaha dan mantan pelaku ekspor.
Penolakan terhadap perubahan ini menunjukkan betapa pentingnya peran asosiasi menjaga keseimbangan dalam industri kepelabuhanan, tanpa kontrol yang tepat, kenaikan biaya logistik berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi dan merusak daya saing produk Indonesia di kancah global.
Sementara itu, Steven Lesawengen (Ketua DPC INSA Surabaya) juga sepakat menolak revisi UU Pelayaran tahun 2008 tersebut. “INSA Surabaya juga sepakat dengan asosiasi yang lain agar keterlibatan kami dalam penentuan tarif kepelabuhanan tetap dilibatkan. Kami kan pelakunya, jadi kami yang tau mengenai biaya. Kalau kami nggak dilibatkan bagaimana jadinya,” kata Steven.
Hal yang sama juga diungkapkan ketua DPW APBMI Jatim Kodi Lamahayu. “APBMI Jatim juga seperti temen-temen asosiasi disini, menolak revisi UU tersebut,” ungkapnya. (***)