DPP dan DPD GPEI seluruh Indonesia menyatakan, ekspor Indonesia tak akan optimal jika regulasi dari unsur perdagangan, bea cukai, dan karantina tidak diharmonisasi aturannya.
“Banyaknya aturan impor yang tidak signifikan dijalankan sangat mempengaruhi ekspor Indonesia, sehingga produk ekspor Indonesia dijalankan via negara lain yang lebih mempermudah aturan impor dan ekspornya,” kata Khairul Mahalli, Ketua Umum DPP GPEI, kepada Ocean Week melalui WhatsApp, Minggu sore (14/1).
Karena itu, ungkap Khairul, organisasi ini siap membantu pelaku usaha ekspor yang mendapatkan kendala atau kesulitan dalam menjalankan usahanya. “GPEI meminta pemerintah pusat untuk menurunkan biaya-biaya yang ada di pelabuhan laut dan udara agar produk ekspor Indonesia mampu berdaya saing diluar negeri,” ujar Khairul.
Padahal, ungkap Khairul, ekspor Sumatera Utara, termasuk Aceh, Sumbar, Riau dan Keppri pada 2017 lalu mencapai 60% dari market share. “Potensi ini mestinya menjadi perhatian bagi pemerintah. Mestinya pemerintah bisa menciptakan regulasi yang harmonis,” tuturnya.
Seperti diketahui, nilai ekspor Sumatera Utara melalui pelabuhan muat di wilayah provinsi pada bulan Juli 2017 lalu mengalami kenaikan dibanding Juni 2017 yakni dari US$632,36,84 juta menjadi US$768,61 juta atau naik 21,54 %.
Peningkatan nilai ekspor terbesar pada Juli 2017 terhadap Juni 2017 terjadi pada golongan lemak dan minyak hewan/nabati sebesar US$71,81 juta (29,21%), diikuti berbagai produk kimia sebesar US$21,48 juta (38,83), golongan karet dan barang dari karet sebesar US$21,01 juta (21,38%).
Ekspor ke Amerika Serikat pada Juli 2017 yang terbesar yakni US$91,72 juta,diikuti Tiongkok US$88,56 juta dan India US$74,22 juta dan Kontribusi ketiganya mencapai 33,11%.
Sedangkan ekspor Sumut ke kawasan Asia di luar Asean mencapai 32,39 %.Nilai ekspor ke Jepang dan Pakistan untuk kawasan Asia di luar Asean masing-masing sebesar US$35,74 juta dan US$19,09 juta.
Sementara itu nilai impor Sumut Juli 2017 atas dasar CIF (Cost,insurance dan Freight) sebesar US$391,90 juta atau naik 31,73% dibanding Juni 2017 mencapai US$297,50 juta. Dibandingkan dengan bulan sama tahun sebelumnya, maka nilai impor mengalami kenaikan sebesar 47,94%.
Nilai impor Juli 2017 dibanding impor Juni 2017,barang modal mengalami kenaikan sebesar 53,16%,bahan baku penolong naik 35,56 % dan barang konsumsi naik 12,60 %.
Produk yang mengalami peningkatan nilai impor terbesar yakni golongan ampas/sisa industri makanan sebesar 23,47 %,sedangkan golongan barang yang mengalami penurunan impor yakni gandung ganduman sebesar US$2,17 juta (-12,53%).
Nilai impor dari Tiongkok yang terbesar yakni 87,07 juta dolar AS dengan perannya mencapai 22,22 % dari total impor Sumut,diikuti Singapura sebesar 45,88 juta dolar AS (11,71 %) dan Malaysia sebesar US$42,45 juta (10,83 %).
Sementara itu, neraca perdagangan Indonesia mencetak surplus pada Agustus 2017 dengan angka USD1,72 miliar. Pada Agustus nilai ekspor tercatat USD15,21 miliar sementara impor USD13,49 miliar.
Surplus neraca perdagangan pada Agustus dipicu surplus sektor nonmigas USD2,41 miliar. Sebaliknya, neraca perdagangan sektor migas defisit USD0,68 miliar.
Dari sisi volume perdagangan, pada Agustus 2017 neraca volume perdagangan Indonesia mengalami surplus sebesar 33,50 juta ton. Hal tersebut didorong oleh surplusnya neraca volume perdagangan nonmigas sebesar 34,21 juta ton. Namun, neraca volume perdagangan sektor migas defisit 0,72 juta ton.
Secara kumulatif, neraca perdagangan Januari-Agutus 2017 mencetak surplus USD9,11 miliar dengan ekspor USD108,79 miliar, dan impor USD99,68 miliar. Bila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya maka neraca perdagangan mengalami kenaikan dari sebelumya sebesar USD5,13 miliar. (***)