Banyak masyarakat keluhkan harga sembako di luar Pulau Jawa masih mahal. Apalagi cabe rawit, belakangan ini harganya selangit. Di beberapa pasar tradisional di Jakarta misalnya, per kg harga cabe rawit mencapai diatas Rp 100 ribu. Begitu pula dengan harg daging sapi sekitar Rp 120 ribu. Padahal, masyarakat masih ingat, dulu Presiden Jokowi pernah menyatakan harga daging sapi Rp 70 ribu. Di luar pulau Jawa harga-harga tersebut jauh lebih tinggi lagi.
Jika dikaitkan dengan program pemerintah yang dikenal dengan Tol Laut, apakah disparitas harga sudah berhasil dicapai. Dan apakah Tol Laut itu semata hanya untuk kepentingan disparitas harga. Sejumlah pertanyaan itulah yang mungkin masih menjadi tanda Tanya dan ‘PR’ bersama.
Sebab, kalau menyimak yang disampaikan Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Direktorat Perhubungan Laut Kemenhub Bay M. Hasani, bahwa tol laut adalah Konektivitas laut yang efektif berupa adanya kapal yang melayari secara rutin dan terjadwal dari Barat sampai ke Timur Indonesia.
Apalagi sekarang ada 13 rute Tol Laut di seluruh Indonesia yang setiap saat kapal-kapal menyinggahi pada wilayah-wilayah yang sudah ditentukan pemerintah. Terdapat 35 unit pelabuhan terdiri dari 18 pelabuhan komersial dan 17 perintis dalam lintas konektivity Tol Laut tersebut. Dari total itu sekitar 136 kapal yang terbagi atas 76 unit kapal komersial dan 60 kapal perintis disiapkan untuk melayari rute-rute pelabuhan tadi. “Ada total 195 rute terbagi 52 rute komersial dan 143 rute perintis”.
Bay Hasani mengakui dengan adanya program Tol Laut, harga barang sudah mulai turun. Namun, penurunannya belum sesuai dengan harapan semua pihak. “Sekarang dengan adanya tol laut ada penurunan harga. Tapi untuk sesuai harapan masih jauh,” katanya pada Diskusi Terbatas bertajuk ‘Harga Komoditas Tinggi, Salah Logistik?’ di Jakarta Rabu (8/2) kemarin.
Menurut mantan Kepala Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok ini, jika ingin disparitas harga komoditas ditekan maka harus ada yang mengatur yakni Bulog. Misalnya, Bulog diperintahkan untuk mendistribusikan barang dengan harga yang sudah ditetapkan. Sedangkan biaya angkutannya ditanggung pemerintah (subsidi-red).
Namun, karena sekarang ini penentuan harga masih melalui mekanisme pasar, meski biaya pengangkutannya disubsidi pemerintah sampai nol rupiah, harganya belum tentu turun.
Oleh sebab itu, pemerintah terus berupaya agar cita-cita mewujudkan kesamaan harga komoditas terealisasi, Kemenhub tengah merancang sentra logistik yang bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan dan BUMN.
Sentra itu diberi nama Rumah Kita. Fungsinya mengkonsolidasikan barang-barang di sepanjang trayek tol laut dengan maksud agar barang yang dibawa sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitar lokasi tersebut.
Sentra Rumah Kita juga diharapkan dapat membantu tingkat isian muatan balik kapal dari rute tujuan tol laut. Sebab, selama ini terjadi ketidakseimbangan kargo antara kawasan barat dan timur.
Disparitas harga dengan program Tol Laut juga sempat disorot Koordinator ALFI Maluku dan Papua, Moh Coya. Sebab, ujar Coya, meski wilayah Indonesia Timur sudah dimasuki trayek tol laut, namun harga tetap saja tinggi. Apalagi jika sampai di pedalaman, harga komoditi bisa lebih tinggi 70% dibandingkan di pulau Jawa. “Memang harga komoditi di wilayah kota yang berdekatan dengan pelabuhan sudah turun, namun itu belum menjamin dikarenakan tol laut,” ungkapnya.
Makanya Koordinator ALFI se-Sumatera Khairul Mahalli pun heran, dan bertanya, kenapa di Sumatera harga komoditi juga masih tinggi. Misalnya cabe, di wilayah Brastagi yang dulu dikenal sebagai daerah penghasil pertanian saja harganya mahal. “Ada apa ini,” tanya Khairul singkat.
Ketua Umum DPP INSA Carmelita Hartoto pun mengakui jika untuk mendukung program tol laut, pelayaran sudah menurunkan ongkos angkut hingga 30%. “Tetapi kenapa harga barang nggak turun juga, ada apa ini sebenarnya, siapa yang bermain,” katanya.
Mungkinkah hal itu disebabkan masih Rendahnya loadfactor kapal untuk muatan balik, juga masih adanya pungutan/biaya di pelabuhan yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi, atau karena belum optimalnya kinerja operasional pelayanan kapal dan barang di pelabuhan, atau juga masih panjangnya mata rantai kegiatan logsitik di pelabuhan. (ow)