Layanan bongkar muat barang/petikemas maupun sandar kapal di pelabuhan Belawan/BICT sudah semakin membaik dan lancar. Karena itu, terkadang terbersit dalam pikirannya, buat apa pemerintah ngotot dengan program dwelling time.
“Padahal fasilitas lapangan penumpukan di pelabuhan masih cukup, tapi karena kelancaran arus barang di pelabuhan sudah menjadi kebijakan pemerintah, makanya penumpukan container di pelabuham tak lagi berani dilakukan,” kata Surianto, Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) sewakt bertemu Ocean Week, di Semarang beberapa waktu lalu.
Dengan kebijakan dwelling time yang maksudnya pemerintah untuk menurunkan cost logistic, justru sebaliknya menjadi high cost (biaya tinggi). Sebab, ungkap ketua fraksi Gerindra DPRD Medan ini, memindahkan container ke tempat penimbunan sementara (TPS) di luar terminal pelabuhan bukan gratisan, melainkan menggunakan ongkos yang harus ditanggung oleh pemilik barang.
“Mestinya seperti dulu saja, jika YOR di terminal petikemas sudah melampaui 65 atau 75, container boleh dipindahkan ke TPS, namun tetap dalam pengawasan bea cukai. Ini pemerintah ingin supaya cost turun, tapi malah membumbung (tinggi),” ucap pria Pujakesuma (putera Jawa kelahiran Sumatera) itu dengan santai.
Dwelling time di pelabuhan Belawan, ungkapnya, tak lebih dari lima hari. “Saya ini sudah lama menggunakan jasa pelabuhan Medan, dwelling time di sini paling lama lima hari, bahkan lebih cepat,” tutur Surianto Butong.
Owner PT Surya Agung Sejahtera yang didirikannya pada 2006 itu menegaskan bahwa masalah dwelling time ini banyak pula peran bea cukai. “Jika impor barang banyak masuk jalur hijau, kemungkinan adanya penumpukan container di pelabuhan kecil. Namun, kita perlu pula khawatir, karena jalur hijau pemeriksaan/bahandle tak dilakukan, bagaimana kalau di dalam container itu disisipi barang terlarang (narkotika),” ujar Surianto serius.
Menurut dia, dwelling time ini terkadang juga menyisakan masalah, karena jika sudah malam, misalnya container harus dipindahkan, depo diluar pelabuhan sudah tutup. Mengingat, banyak depo diluar pelabuhan yang buka hanya sampai jam 5 sore, belum kerja 24 jam.
“Padahal sekarang dengan diterapkannya tariff progresif, semua pemilik barang sangat menghindari untuk terkena kebijakan itu. Tapi, kalau truknya kurang, gudang penerima barang juga kurang, sementara barang harus keluar, dan depo juga belum 24 jam, akhirnya terkena tariff progresif, cost logistic bukan lagi turun, malah tinggi,” jelas Surianto panjang lebar.
Karena itu, pemerintah perlu memikirkan kembali urgensi dwelling time ini.”Bagaimana kalau alat bongkar muat pelindo yang rusak, sehingga bongkar muat lambat, dan barang lama pula keluar. Apakah kalau ada kasus seperti ini tidak ada kebijakan toleransi,” Tanya Surianto Butong.
Sementara itu, Corporate Secretary PT Pelindo I M. Eriansyah mengungkapkan, saat ini dwelling time di Belawan sudah semakinmembaik, bisa kurang dari 3,18 hari, dengan porsi Pelindo I kurang dari satu hari.
Menurut Eriansyah, berbagai upaya telah dilakukan untuk mempersingkat dwelling time di antaranya dengan membangun kawasan penyangga (buffer zone) seluas 1 hektare untuk menampung peti kemas dari zona I yang telah mengantongi surat persetujuan pengeluaran barang (SPPB).
“Sebelumnya peti kemas yang telah dibongkar dari kapal banyak bertumpuk di zona I padahal sudah mengantongi SPPB. Sekarang peti kemas-peti kemas akan segera dipindah ke area buffer zone sehingga tidak lagi menumpuk di zona I,” ungkapnya.
Eriansyah menjelaskan dwelling time itu dihitung mulai peti kemas dibongkar dari kapal sampai dengan keluar dari gerbang area pelabuhan setelah melalui beberapa tahapan pemeriksaan (pre clearance, clearance, dan post clearance) dengan melibatkan beberapa instansi.
Pelindo I sudah memiliki protap yang ditetapkan sejak Oktober 2016 lalu yakni peti kemas yang telah mengantongi SPPB dalam waktu 1×24 jam harus sudah dipindahkan ke buffer zone.
Untuk mengurangi penumpukan di zona I, Pelindo I juga menerapkan diskon 3 sampai 5 persen bagi pemilik kontainer yang melakukan pembongkaran di luar jam sibuk, yakni jam 07.00 – 12.00 WIB dan jam 12.00 – 5.00 WIB.
“Kami juga menerapkan sistem barcode untuk transaksi. Pemilik kontainer dapat melakukan pembayaran secara online dari mana saja dan secara otomatis akan menerima barcode untuk mengeluarkan peti kemas dari area pelabuhan. Tinggal tunjukan ke petugas untuk di-scan,” jelas Eriansyah.
Eriansyah mengatakan tarif dasar untuk bongkar muat itu Rp37.000 untuk satu peti kemas pada hari pertama, kalau sampai dua hari akan dikenakan tarif 250 persen, tiga hari 400 persen, dan hari keempat 700 persen, tujuannya agar importir segera memindahkan barangnya. (***)