Mengingat kondisi perekonomian dunia yang dihantui ketidakpastian, INSA berharap pemerintah dan DPR sudah seharusnya menciptakan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada pelaku usaha swasta nasional, agar dapat menjaga eksistensi usaha dan investasi yang ada serta keberlanjutan usahanya sehingga tidak berujung pada terjadinya PHK secara massal.
Hal itu diungkapkan Ketua Umum DPP INSA Carmelita Hartoto kepada Ocean Week, menanggapi revisi perubahan ketiga UU no 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.
“Untuk dapat mencapai pertumbuhan ekonomi 8%, pemerintah tidak dapat berjalan sendiri, tetapi harus melibatkan dan bergandengan tangan dengan pelaku usaha swasta nasional untuk menciptakan dan menjaga dunia usaha yang kondusif, efisien, efektif dan tetap mempunyai daya saing yang tinggi.
Jika tidak dapat menciptakan kondisi dunia usaha yang kondusif, berdampak mengurangi minat para pihak untuk berinvestasi,” ujarnya, melalui WhatsApp nya, Sabtu.
Menurut Carmelita, INSA masih menunggu hasil akhir pembahasan revisi UU Pelayaran di DPR. “Dan kami mempunyai harapan yang tinggi aspirasi pelaku usaha ditanggapi positif oleh pemerintah dan DPR,” ungkapnya tidak mau terprovokasi untuk melakukan aksi demo sebagaimana ancaman yang dilontarkan ALFI jika ayat 1 dan ayat 5 pasal 110 dihapuskan.
Ketua umum INSA ini juga menyampaikan bahwa sebagai tindak lanjut dari Konsultasi Publik yang digelar Kemenhub pada tanggal 16 Agustus 2024, INSA sudah menyampaikan tanggapan dan usulan secara tertulis kepada Kemenhub dan K/L yang terkait lainnya.
Sebelumnya dalam berita yang dipublish Ocean Week menyebutkan bahwa Asosiasi Logistik dan Forworder Indonesia (ALFI) mengancam bakal melakukan aksi mogok nasional, jika DPR RI menerima usulan pemerintah untuk menghapus ayat 1 dan ayat 5 pasal 110 dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

“ALFI menilai penghapusan ayat-ayat tersebut dapat berpengaruh terhadap tarif dan berdampak pada eksistensi serta keberlanjutan usaha anggota ALFI/ILFA yang berjumlah lebih dari 4.300 perusahaan dan UKM, lebih dari 100.000 karyawan. Bisa jadi akan banyak usaha anggota ALFI yang bankrut dan terpaksa mem-PHK ratusan ribu karyawannya, apakah DPR RI dan pemerintah (Kemenhub) nggak mikir itu,” ujar Akbar Djohan, Ketua Umum DPP ALFI dalam keterangannya, Jumat.
Menurut Akbar, ratusan ribu karyawan tersebut belum termasuk anggota perusahaan dan karyawan dari asosiasi lain yang jumlahnya bisa mewakili lebih dari 10.000 perusahaan. “Jadi kalau ayat ayat 1 dan ayat 5 pasal 110 itu dihilangkan, akan berpotensi pemerintah menciptakan ratusan ribu pengangguran. Apakah DPR sebagai wakil rakyat inginkan itu, tentu kami berharap tidak,” ungkapnya.
Sekjen APBMI capt. Korompis, ketika ditanya juga mengemukakan hal yang sama. “Kami, ALFI, Ginsi, GPEI, dan INSA memiliki tekad yang sama,” jawabnya singkat.
Seperti diketahui bahwa Menhub Budi Karya Sumadi sudah menyerahkan daftar isian masalah (DIM) revisi UU Pelayaran kepada Komisi V DPR RI, kemarin.
Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI/ILFA) menyatakan menolak usulan pemerintah untuk menghapus ayat 1 dan ayat 5 pasal 110 dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Ketua Umum ALFI/ILFA Akbar Djohan mengatakan penghapusan ayat-ayat tersebut dapat membuka peluang kepada Operator pelabuhan untuk bertindak sewenang-wenang.
Kata Akbar, kedua ayat dalam pasal 110 tersebut perlu dipertahankan sehingga menutup dampak negatif yang akan diderita oleh dunia bisnis dan negara.
“ALFI menolak usulan pemerintah untuk menghapus Pasal 110 Ayat (1) dan Ayat (5), karena akan secara sepihak menetapkan tarif terkait dengan penggunaan perairan dan/atau daratan serta jasa kepelabuhanan,” kata Akbar.
Akbar juga menilai penghapusan ayat-ayat tersebut dapat berpengaruh terhadap tarif dan berdampak pada eksistensi serta keberlanjutan usaha anggota ALFI/ILFA yang berjumlah lebih dari 4.300 perusahaan dan UKM, lebih dari 100.000 karyawan.
Ini belum termasuk anggota perusahaan dan karyawan dari asosiasi lain yang jumlahnya bisa mewakili lebih dari 10.000 perusahaan dan ratusan ribu karyawan.
“Karena Otoritas dapat secara sepihak menetapkan tarif terkait dengan penggunaan perairan dan/atau daratan serta jasa kepelabuhanan,” katanya.
Sementara kepada DPR RI, pihaknya meminta untuk tetap mempertahankan pasal yang berisi keterlibatan asosiasi dalam penentuan tarif jasa kepelabuhan.
Hal ini sebagai salah satu bentuk peran serta masyarakat yang diatur dalam Undang-Undang Pelayaran di mana Pasal 274 dan Pasal 275 UU No. 17 tentang Pelayaran Tahun 2008 menetapkan bahwa masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan pelayaran secara optimal.
“Sehingga usulan DPR RI untuk melibatkan asosiasi dalam penentuan jasa kepelabuhanan adalah sangat relevan,” ujar Akbar.
Mantan Dirut KBS ini mengatakan penetapan tarif jasa kepelabuhanan yang terlalu tinggi, terangnya, dapat berakibat pada bertambahnya biaya logistik yang tinggi dan mengakibatkan harga produk dalam negeri menjadi tidak kompetitif di pasar nasional dan global.
“Penghapusan pasal 110 Ayat (1) dan (Ayat 5) hanya menguntungkan Operator Pelabuhan BUMN dan mematikan stakeholder lainnya,” tegasnya.
Akbar menuturkan, sampai saat ini penetapan tarif barang dilakukan melalui kesepakatan antara masing-masing asosiasi yaitu INSA, APBMI; ALFI/ILFA; GINSI dan GPEI.
Akbar menilai, Kementerian Perhubungan, hanya berpihak kepada PT Pelindo.
Kemenhub terkesan mengabaikan ribuan Perusahaan dan karyawan yang bergabung di bawah naungan ; APBMI ; ALFI/ILFA; INSA GINSI dan GPEI.
“Kalau pemerintah tetap bersikeras tak mau mengubah itu, ALFI/I:FA dan segenap asosiasi lain, kami tak segan akan menggelar aksi mogok secara nasional,” katanya. (***)